Jakarta, Kawanuapost.com – Ketua Komite I DPD RI, Benny Rhamdani bersama DPR-RI kembali menggelar Rapat Kerja Pansus RUU Daerah Kepulauan, dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2018, RUU tentang Daerah Kepulauan termasuk salah satu di antara RUU prioritas.
Rapat kerja Pansus dihadiri oleh Tim Kerja (Timja) RUU Daerah Kepulauan DPD RI dan pihak pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Kementerian Hukum dan HAM, Senin, (8/10/2018).
Rhamdany menjelaskan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2018, RUU Daerah Kepulauan menjadi prioritas serta menjadi tanggung jawab DPD RI untuk menyiapkan sebagai usulan inisiatif. “Dengan semangat tinggi dan kesungguhan melaksanakan amanat RUU Daerah Kepulauan akhirnya selesai disusun dan kami berharap RUU ini menjadi pemacu semangat membangun daerah kepulauan, di mana selama ini Negara belum hadir secara efektif,” jelasnya.
Berangkat dari pertanyaan mengapa DPR, DPD dan Pemerintah perlu membentuk suatu undang-undang khusus yang mengatur tata kelola Daerah Kepulauan. Jika pada tingkat internasional kita sudah lama diakui sebagai Negara Kepulauan, namun tata kelola internal (internal governance and policy) sesungguhnya belum menunjukkan konsistensi untuk mengelola organisasi negara-bangsa ini dalam suatu kesadaran geografis kepulauan.
Baginya, pahit untuk mengatakan bahwa sudah sangat lama negara tidak hadir, atau hadir tidak secara efektif alias setengah hati, di suatu rupa bumi tertentu yang bernama daerah kepulauan. Undang-undang ini dibuat untuk menyambung denyut semangat kita di panggung diplomasi internasional tadi ke dalam semangat dan cara-cara pengelolaan internal organisasi negara-bangsa yang berbasis kesadaran geografis akan eksistensi Indonesia yang terdiri atas daratan besar (main land) dan daratan kecil (kepulauan).
Secara filosofis, ikhtiar menghadirkan Negara lewat “pintu masuk” keberadaan UU Daerah Kepulauan tentu tak lepas dari manifestasi pandangan hidup, nilai-nilai luhur masyarakat dan cita hukum yang berakar kepada falsafah bangsa sebagaimana termaktub dan bersumber dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di sini, kepulauan tidak dilihat semata sebagai penggalan-penggalan wilayah geografis saja tetapi juga ruang hidup manusia dengan segala kosmologi berpikir dan struktur komunitas sosial yang khas.
“Untuk itu, filosofi hidup “manusia kepulauan” dan tantangan hidup di alam geografis nan kompleks patut memperoleh perhatian tersendiri dalam politik kebijakan teritorial negara ke depan,” kata Rhamdani.
Problem kebijakan dan desain program yang menjadi dasar sosiologis bagi kebutuhan dibentuknya UU tentang Daerah Kepulauan tersendiri ini adalah masih terjadinya pembangunan daratan dan ketidakadilan bagi Daerah Kepulauan.
Benny Rhamdany memaparkan daerah kepulauan sesungguhnya masih memiliki banyak masalah, baik terbatasnya sarana prasarana pelayanan dasar dan pelayanan strategis belum berkualitasnya berbagai layanan pemerintahan baik layanan publik maupun sipil, terbatasnya kemampuan keuangan daerah dan ketergantungan fiskal yang tinggi kepada pemerintah pusat, biaya transportasi dalam rangka pelayanan pemerintahan yang sangat mahal, terbatasnya aksesibilitas dan keadilan akses bagi masyarakat secara umum, masih adanya isolasi fisik, marjinalisasi komunitas sosial, disparitas ekonomi antarpenduduk (inequality) dan antardaerah (regional disparity), rendahnya kualitas sumber daya manusia dan minimnya intervensi layanan negara dan keberpihakan bagi pembangunan manusia melalui pemenuhan kebutuhan pendidikan dan kesehatan secara memadai.
Urgensi dibentuknya UU Daerah Kepulauan juga bertolak dari fakta yuridis yaitu minim atau bahkan kosongnya pengaturan tersendiri secara signifikan terhadap pengelolaan daerah kepulauan, khususnya perihal aspek penyelenggaraan pemerintahan berbasis ruang kelola (wilayah pengelolaan laut dan darat), kewenangan tambahan atas urusan dan sub-urusan yang urgent menurut tingkat permintaan layanan publik dan kebutuhan hukum penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Kepulauan, serta dukungan fiskal yang memadai sebagai jalan keluar atas fakta amat tingginya biaya pembangunan dan ketertinggalan (keadilan) dibandingkan dengan daerah-daerah daratan (pulau besar).
Dari sisi geopolitik-kemaritiman, kebutuhan hukum ini juga perlu dilihat dalam satu tarikan nafas yang sama dengan tekad Presiden Joko Widodo, menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dalam tekad tersebut, suatu penegasan jati diri sebagai bangsa bahari dan negara maritim (Nawacita) dilakukan sebagai ikhtiar membangun Indonesia sebagai kekuatan negara-bangsa yang bersatu (unity), sejahtera (prosperity) dan berwibawa (dignity).
Rhamdani menuturkan, DPD RI yang mewakili aspirasi dan kepentingan daerah menaruh perhatian khusus pada daerah kepulauan setelah lahirnya konsep Provinsi Berciri Kepulauan yang diperkenalkan dalam Bab II Pasal 28 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Definisi Daerah Provinsi Berciri Kepulauan sesuai UU tersebut digambarkan sebagai suatu “daerah provinsi yang memiliki karakteristik geografis dengan wilayah lautan lebih luas dari daratan yang di dalamnya terdapat pulau-pulau yang membentuk gugusan pulau sehingga menjadi suatu kesatuan geogragis dan sosial budaya”.
“Dari pasal ini, setidaknya terdapat dua konsep yang harus diterjemahkan. Pertama, konsep daerah provinsi yang berciri kepulauan, kedua, konsep gugusan pulau yang menjadi satu kesatuan geografis dan sosial budaya,” pungkanya.
Ahli hukum laut dan pemerintahan daerah mendalilkan bahwa di dalam negara kepulauan tidak boleh ada provinsi atau kabupaten/kota kepulauan, atau tidak boleh ada konsep daerah kepulauan di dalam negara kepulauan karena negara kepulauan adalah satu kesatuan yang menggambarkan negara Indonesia sebagai negara kepulauan.
Karena itu, Benny mengatakan bahwa DPD RI sependapat dengan pandangan demikian. Namun kami jadi mempertanyakan “kalau Indonesia adalah Negara Kepulauan, kenapa di dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 dilahirkan konsep Provinsi Berciri Kepulauan? Bukankah negara ini adalah Negara Kepulauan dan bukan negara berciri kepulauan?
Apabila Negara Indonesia sebagai negara kepulauan melahirkan konsep provinsi berciri kepulauan yang menunjukkan negara ini mempunyai kedaulatan sebagai negara kepulauan untuk melahirkan konsep provinsi berciri kepulauan maka atas dasar kedaulatan yang sama dan hak sebagai negara berdaulat untuk membentuk norma hukum nasional, DPD RI berpendapat bahwa atas kedaulatan negara dan kemerdekaan untuk membentuk norma hukum nasional, tentu sah pula memperkenalkan norma hukum baru tentang daerah kepulauan dalam dalam suatu undang-undang yang diberi nama Undang-Undang tentang Daerah Kepulauan.
Menurut Benny, DPD RI memandang bahwa sangat wajar di dalam negara kepulauan otomatis ada provinsi kepulauan dan kabupate/kota kepulauan. Dan DPD RI berpandangan bahwa kurang tepat dikatakan di dalam negara kepulauan terdapat daerah berciri kepulauan. Negara Indonesia adalah negara kepulauan dan bukan negara berciri kepulauan.
Berdasarkan konsepnya, Lanjut Benny, bahwa konstruksi hukum yang dibangun dalam RUU ini adalah adanya pengaturan khusus tentang ruang, urusan dan uang yang harus dimiliki oleh daerah kepulauan. Pembentukan UU tentang Daerah Kepulauan dilakukan dengan pertimbangan bahwa: (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan berciri nusantara yang mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus sehingga pengaturan hubungan antara Pemerintah, pemerintahan daerah perlu memperhatikan kekhususan-keragaman lokal, dan (2) penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berorientasi kepada pembangunan daratan belum mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan melalui pelayanan publik, pembangunan ekonomi dan perlindungan sosial bagi masyarakat di daerah kepulauan.
Dalam usulan inisiatif yang disusun oleh DPD RI, Benny menyampaikan RUU Daerah Kepulauan terdiri dari 11 Bab dan 45 Pasal, dimana fokus dalam batang tubuhnya mencakup 3 (tiga) hal utama, yaitu (1) Ruang Pengelolaan, (2) Urusan Pemerintahan, (3) Uang/Pendanaan. Daerah Kepulauan, dalam usulan RUU ini, didefinisikan sebagai daerah yang memiliki karekteristik secara geografis dengan wilayah lautan lebih luas dari daratan yang didalamnya terdapat pulau-pulau yang membentuk gugusan pulau sehingga menjadi satu kesatuan geografis dan sosial budaya. Terdapat 11 (sebelas) asas yang mendasari UU tentang Daerah Kepulauan, yaitu asas kepastian hukum, desentralisasi, rekognisi, keadilan, kearifan lokal, akuntabilitas, partisipasi masyarakat, keterpaduan, keberlanjutan dan proporsionalitas.
Pembentukan undang-undang daerah kepulauan bertujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi Pemerintah Daerah Kepulauan, mengakui dan menghormati kekhususan dan keragaman karakteristik geografis dan sosial budaya daerah kepulauan, mewujudkan pembangunan daerah kepulauan yang berkeadilan, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berdaya saing, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan, dan memberikan perlindungan dan keberpihakan terhadap hak-hak masyarakat di Daerah Kepulauan.
Ruang lingkup pengaturan Daerah Kepulauan meliputi tujuh hal pokok yakni, daerah kepulauan dan wilayah pengelolaan, urusan pemerintahan, pendanaan daerah, pembangunan daerah, masyarakat daerah kepulauan, pengelolaan dan pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar, dan partisipasi masyarakat,” tutup Ketua Komite I DPD RI, Benny Rhamdani. (art)