KAWANUAPOST.COM – Lupakan Belanda. Negara yang satu itu memang terbilang “alergi” mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia (RI) di masa revolusi yang padahal, sudah berdiri sejak Proklamasi 17 Agustus 1945.
Di sisi lain, amat vital mendapat pengakuan de facto dan de jure dari dunia internasional soal eksistensi RI. Salah satu modal RI untuk mendapatkan sejumlah pengakuan itu adalah dengan politik “mengambil hati” sekutu soal pelucutan, pemulangan pasukan Jepang, serta pembebasan para interniran.
Proyek POPDA (Panitia Oeroesan Pemoelang Djepang) untuk membantu tugas APWI (Allied Prisoner of War and Internees) pun dijalankan Presiden Soekarno sejak awal 1946, terlepas dari sejumlah insiden dengan tentara sekutu di akhir tahun 1945.
Termaktub dalam buku ‘Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati’, operasi POPDA yang memanfaatkan pengawalan Tentara Republik Indonesia (TRI, cikal-bakal TNI), Djawatan Kereta Api, Kepolisian, serta Djawatan Kesehatan dan Sosial dinilai penting.
Pasalnya, sekutu punya keterbatasan sumber daya manusia untuk menunaikan tugasnya memulangkan tentara Jepang dan membebaskan para interniran, lantaran kamp-kamp Jepang ada di pedalaman.
Proyek POPDA ini juga dianggap misi kemanusiaan yang tentunya bisa menuai simpati internasional soal revolusi Indonesia. Sedianya proyek ini sudah berjalan sejak 9 Januari 1946, tapi baru diresmikan pada 29 April di tahun yang sama.
Misi POPDA ini pun dinilai sukses di akhir masa tugas pada 29 Mei 1947 (di literatur lain ada yang menyebutkan 30 Mei 1947), dengan dievakuasinya sekitar 36 ribu interniran, serta 35.545 prajurit Jepang.
Ditambah kebijakan soal “Diplomasi Beras”, di mana Indonesia ikut mengirim bantuan beras kepada India, simpati dunia internasional pun berdatangan di kemudian hari.
Prestasi ini juga tak pelak mengukuhkan opini umum dunia internasional, bahwa konflik Indonesia-Belanda harus diselesaikan di meja perundingan dengan damai.
Salah satu bentuk perundingan dengan Belanda, tentu Perundingan Linggardjati, di mana perundingan itu diinisiasi utusan Inggris, Sir Archibald Clark Kerr.
Dari situ pula akhirnya berdatangan pengakuan terhadap RI dari lima negara Timur Tengah, yakni Mesir, Suriah, Yordania, Lebanon dan Arab Saudi yang juga berkat lawatan utusan RI, H. Agus Salim.
Pengakuan de jure lima negara Timur Tengah itu juga memuluskan jalan RI berhubungan dengan PBB, demi mengenalkan sebuah negara baru di kawasan Asia Tenggara bernama Republik Indonesia.
Di PBB, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, H. Agus Salim, Soedjatmoko, Sumitro Djojohadikusumo, “pamer” catatan sejarah di mana RI merupakan penerus dari kerajaan-kerajaan kuno macam Sriwijaya dan Mataram yang pernah gemilang di masanya.
Selepas masa revolusi, upaya mengenalkan negara baru ini juga pernah dilakukan H. Agus Salim dengan cara yang unik, terutama ketika bertamu ke Kerajaan Britania Raya pada 1953, tepat pada penobatan Ratu Elizabeth II.
Dengan sebatang rokok kretek, H. Agus Salim mendekati salah satu keluarga kerajaan, Pangeran Phillip. “Yang Mulia, apakah Anda mengenal aroma dari rokok saya?,” tanya H. Agus Salim.
Pangeran Phillip yang saat itu masih belia menggelengkan kepala. “Aroma ini Yang Mulia, adalah aroma yang membawa negeri Anda mendarat ke negara saya pada 300-400 tahun yang lalu,” sambung H. Agus Salim.
Dari situlah suasana kaku di Istana Buckingham itu mencair dan Kerajaan Inggris, mulai lebih mengenal RI yang dulu juga pernah mereka duduki di masa Sir Thomas Stamford Raffles.
SUMBER : OKEZON.
EDITOT : SOLSILARE.