kawanuapost.com- Jakarta : Permasalahan penanganan pertambangan biji besi di Pulau Bangka, Minahasa Utara (Minut) sepertinya jadi perhatian serius Pemerintah Pusat. Pasalnya, pada Rabu (11/06), Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang berkantor di Jalan Veteran III, Jakarta Pusat, mengundang Gubernur Sulut, Dr. SH. Sarundajang bersama Bupati Minut, Sompie Singal mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) untuk membahas kasus Pulau Bangka tersebut.
Pimpinan Rakoor Kepala UKP4, Kuntoro Mangkusubroto dalam Pengarahannya menegaskan, Rakoor tersebut dilaksanakan disebebkan adanya pengaduan masyarakat terhadap tambang biji besi yang dilaksanakan oleh PT. Migro Metal Perdana (PT MMP) yang ijin usaha pertambangan eksplorasinya telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 24 September 2013, namun ternyata PT MMP masih tetap beroperasi.
Oleh sebab itu, Lanjut Mangkusubroto, perlu dicarikan solusi terbaik agar konflik yang sedang terjadi tidak lebih meluas sehingga perlu secara terstruktur menyelesaikan persoalan itu dengan mengundang Dirjen Otda Kemendagri, Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, Deputi Penaatan Hukum KLH, Kabareskrim Mabes Polri dan Komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga.
Sementara Gubernur Sulut Dr SH. Sarundajang, pada Rakoor tersebut, menyampaikan, potensi biji besi di Pulau Bangka diperkirakan 40 juta ton dan estimasi produksi per tahun 14 juta ton, jika PT MMP ini beroperasi, maka hasil ini akan memberikan kontribusi ketersediaan baja secara nasional +3,2 kg/kapita/tahun dan akan memberikan kontribusi PAD dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar + 600 milyar pertahun serta penyerapan tenaga kerja sebanyak 4.500 orang pertahun dengan upah US $ 500/orang/perbulan.
Namun, Sarundajang mengakui, permasalahan penambangan biji besi di pulau bangka telah menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak sehinga rakoor seperti ini sangat diperlukan untuk melihat permasalahan pertambangan dari berbagai aspek dan mencari solusi terbaik tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat dan pemerintah.
Lain halnya dengan, Sandra Moniaga, Komisoner Komnas HAM, yang mewakili para masyarakat yang tidak setuju terhadap tambang biji besi di pulau bangka, menyatakan, Pemerintah daerah harus memperhatikan keadilan dengan memperhatikan dampak kehadiran PT MMP karena terindikasi terjadinya pelanggaran HAM, pelanggaran kasus pidana, tidak netralnya aparat pemerintah termasuk aparat kepolisian, penghormatan terhadap keputusan hukum dan konflk horizontal yang terjadi sebagi akibat kehadiran PT MMP ini.
Sedangkan Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyampaikan, haruslah memperhatikan perundang-undangan tentang pemanfaatan pulau-pulau kecil dan jika ada penambangan harus menjamin aspek lingkungan dan social budaya serta memperhatikan teknologi yang digunakan agar tidak merusak lingkungan, Kementerian Kelauatan dan Perikanan juga telah melakukan penelitian terhadap permasalahan tersebut dan pada saat ini telah menunjuk beberapa orang akademisi ahli perikanan dan kelautan untuk melakukan penelitian lanjutan terkait dampak penambangan bijih besi terhadap ekologi dan terumbu karang di pulau Bangka.
Selain itu, Kabareskrim Mabes Polri mengingatkan semua pihak agar memperhatikan betul peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk dipatuhi jangan sampai terjadi penyimpangan karena akibatnya akan berurusan dengan aparat penegak hukum.
Dalam rapat tersebut disimpulkan beberapa hal, diantaranya: operasional PT MMP harus dihentikan sementara, perlu ditekankan kepada masyarakat untuk menghindari konflik sosial, perlu dibentuk tim secara terpadu di pusatdan Gubernur Sulawesdi Utara mengundang Tim Pusat yang dbentuk agar turun dan melihat secara obyektif kondisi di lapangan dan memperhatikan masukan-masukan dari berbagai pihak baik yang pro maupun yang kontra agar keputusan yang diambil benar-benar mampu memberikan rasa keadilan bagi semua pihak.
Sebelumnya, Gubernur Sulut Dr SH Sarundajang (SHS) membantah dirinya turut andil pada perusahaan pengelola biji besi asal Cina PT Mikro Metal Perkasa (MMP) yang sekarang ini beroperasi di Pulau Bangka Kabupaten Minahasa Utara (Minut).
Pasalnya, perusahaan tersebut tidak masuk dalam data Pemprov Sulut yang langsung ditandatanganinya.
“Bisa dicek langsung, sekarang itu semua di sana (PT MMP. red) tertata secara transparan,” terang Sarundajang di lobi Kantor Gubernur Sulut, Selasa (10/06).
Hal tersebut dipastikan, karena dirinya bersama-sama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) langsung turun dan melakukan kroscek ke lokasi PT MMP pada waktu lalu.
“Saya sendiri yang mengecek langsung laporan-laporan dari masyarakat tentang isu-isu tersebut,” ungkapnya.
Ia membenarkan, memang ada temuan-temuan, saat dirinya bersama Forkopimda di lokasi tersebut. Tapi menurutnya temuan tersebut tidak seperti yang dilaporkan para warga.
“Perusahaan itu tidak mungkin akan beroperasi kalau tidak mendapatkan ijin. Dan ijin-ijin apa itu saya tidak bisa jelaskan secara rinci,” jelas Sarundajang.
Diakuinya juga, selama ini diketahuinya hanya ada dua perusahaan kontrak karya dibidang pertambangan emas yang beroperasi di Sulut seperti, PT Jesources di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) dan PT MSM di Kabupaten Minahasa Utara (Minut).
“Kontrak karya itu berarti ada kerjasama langsung antara pihak luar negeri dan pemerintah pusat melaui Provinsi lewat Gubernur. Jadi untuk PT MMP itu ijinnya ada pada Bupatinya (Sompie Singal,red),” tegasnya.
Disisi lain melalui Bupati Minut Sompie Singal usai mengadakan rapat tertutup dengan Sekprov Sulut Ir Siswa Rachmat Mokodongan, memastikan proses tahapan reklamasi dilokasi pengelolaan PT MMP sudah diberhentikan dengan ijin perpanjangan belum ada kepastian yang pasti apakah dilanjutkan atau tidak.
“Proses eksplorasi yang masih jalan yang ijinnya sampai tanggal 19 Juli 2014 mendatang,” ungkap Singal. (*)