JAKARTA – KawanuaPost.com – Pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, mengatakan politik populis yang kini telah menjelma jadi tren baru di jagad politik Indonesia harus mampu dikelola dengan baik karena bila tidak berpotensi jadi bumerang bagi pemerintahan itu sendiri.
Seperti diketahui, Joko Widodo membawa tren politik populis di jagad politik Tanah Air dengan gaya kepemimpinan yang menunjukkan kedekatan dengan rakyat melalui blusukan, baik ketika menjabat sebagai kepala daerah maupun presiden seperti saat ini.
“Saya kira benar kita tengah memasuki era politik populis. Tapi jangan lupa, dalam jargon politik populis janji kesejahteraan yang telah terucap harus segera diwujudkan,” ujarnya kepada Okezone di Jakarta, Jumat (3/7/2015).
Sayangnya, sambung Masnur, pemerintahan Jokowi-JK belum juga menunjukkan kabar baik bahwa janji kesejahteraan akan segera terwujud. Di tengah lesunya ekonomi, gaduhnya politik dan buramnya potret penegakan hukum, politik populis justeru menimbulkan sikap frustrasi tersendiri di masyarakat.
Lebih lanjut Masnur mengatakan, rezim Jokowi-JK tengah menatap badai era politik populis karena tak kunjung merealisasikan janji politiknya dalam meredistribusikan kemakmuran.
“Alih-alih merevolusi mental bangsa dengan program Nawacita, jargon “kerja-kerja-kerja” yang dikoar-koarkan Kabinet Jokowi semakin jauh panggang dari api. Yang terjadi malah potret pengangguran dan ketimpangan ekonomi yang semakin mengkhawatirkan. Belum lagi gelombang PHK juga semakin marak dampaknya pada angka pengangguran yang kian meningkat,” terangnya.
Direktur Asia Pacific Law Institute and Constitutional Reform (Aplicore) UII tersebut mengatakan, salah satu penyebab semakin menurunnya kinerja kabinet rezim Jokowi-JK adalah kondisi faktual fenomena ungoverned government atau pemerintah yang absen dalam kerja-kerja mewujudkan kesejahteraan.
“Fenomena sekarang ini gejalanya mengarah pada indikasi pemerintah yang tidak mampu mengatur dan mengelola kebijakan secara optimal dan efisien atau ungoverned government. Yang terjadi justeru kegaduhan internal di istana yang membuat suasana kerja kabinet menjadi guncang dan tidak stabil. Ambil contoh misalnya “keributan” internal di istana karena ditengarai ada anggota kabinet yang justeru di belakang menjelek-jelekkan presiden,” urainya.
Sehingga menurutnya, Presiden Jokowi tidak perlu ragu bila hendak me-reshuffle kabinet. “Untuk itu Presiden tak perlu ragu bila hendak melaksanakan kocok ulang kabinet (reshuffle) dan tegas serta gesit dalam menyiapkan menteri yang benar-benar bisa bekerja untuk menjalankan visi-misi pemerintahan,” pungkasnya.
EDITOR : SOLSILARE.