SUDAN – KawanuaPost.com – Dua pendeta asal Sudan Selatan yang ditangkap oleh otoritas keamanan Republik Sudan, saat ini menghadapi ancaman hukuman mati. Keduanya ditangkap saat melakukan perjalanan ke Sudan Utara dengan tuduhan berlapis yaitu melakukan kegiatan spionase, mengancam konstitusi, menghasut kelompok terorganisir untuk melakukan makar dan menyerang keyakinan agama tertentu. Mereka akan menjalani persidangan yang menurut kuasa hukum mereka akan dilakukan pekan depan.
Kedua pendeta itu adalah Yat Michael Ruot dan Peter Yein Reith yang merupakan pendeta Presbyterian dari Sudan Selatan, sebuah negara dengan mayoritas umat Kristen yang memisahkan diri dari Republik Sudan. Ruot ditangkap pada 21 Desember 2014 silam saat menyampaikan khotbah ibadah minggu di Omdurman, Khartoum. Reith ditangkap pada 11 Januari 2015 oleh pihak keamanan. Setelahnya keberadaan kedua pendeta itu tidak diketahui, hingga pada bulan April lalu keberadaan mereka terlihat setelah keduanya muncul di kantor polisi. “Kami masih khawatir tentang penahanan ini. Mari terus berdoa untuk mereka agar Tuhan menolong dan membebaskan mereka,” kata istri dari Pendeta Ruot kepada grup advokasi Kristen setempat.
Menyikapi hal ini, David Curry, CEO Open Doors USA, sebuah kelompok yang mendedikasikan diri untuk mengadvokasi umat Kristen teraniaya, menilai adanya upaya dari pemerintah setempat untuk menyingkirkan umat Kristen. “Saya khawatir dan takut bahwa kedua pendeta ini akan dieksekusi mati hanya karena mempraktekkan iman percaya mereka,” kata Curry.
Hal ini terlihat dari pernyataan Presiden Sudan Omar al-Bashir yang telah berjanji akan menjadikan Sudan sebagai sebuah Negara Islam dengan pemberlakukan Hukum Syariah. Intelijen Sudan bernama NISS (National Inteligence and Security Service) sendiri dipimpin oleh seorang militan garis keras yang dalam kegiatannya seringkali mengintimidasi dan menangkapi umat Kristen didaerah itu. Penganiayaan umat Kristen di negara itupun meningkat sejak pemisahan diri Sudan Selatan pada Juli 2011 silam.
Kementerian agama setempat juga telah mengeluarkan pernyataan bahwa sejak April 2013, Negara tidak akan memberikan izin baru lagi untuk pembangunan atau pendirian gereja-gereja baru di Sudan. Para petinggi NISS sendiri disebutkan telah meminta 12.000 ribu dollar AS kepada Gereja jika menginginkan pendeta mereka dibebaskan. Namun para pemimpin gereja khawatir jika permintaan ini dipenuhi maka kemungkinan besar NISS akan kembali melakukan penangkapan yang tujuannya hanya untuk memeras Gereja saja.
“Sebuah situasi yang jelas sangat memberatkan bagi umat Kristen di Sudan. Kasus ini sepertinya hanyalah rekayasa. Mereka hanyalah warganegara biasa yang menjalankan ibadah Kristen mereka. Tetapi nampaknya pemerintah Sudan ingin menggunakan segala macam cara untuk mendorong umat Kristen keluar dari negara ini bahkan dari kehidupan ini. Sayangnya, mereka memiliki beberapa keberhasilan,” tambah Curry.
Sejak 2012 lalu, Republik Sudan telah mendeportasi umat Kristen dan juga lembaga-lembaga kemanusiaan yang mengawasi soal penganiayaan. Selain itu gedung-gedung gereja banyak yang dihancurkan sebagai sebuah peringatan bahwa mereka tidak mentoleransi praktek kekristenan. Tahun 2014 lalu sejumlah gereja di ibukota Khartoum dan Omdurman diratakan dengan tanah dan tidak menginzinkan bangunan apapun untuk dibangun. Karena praktek penganiayaan dan pelanggaran HAM ini, Sudan telah ditetapkan sebagai “Negara dalam Pengawasan Khusus” oleh Departemen Luar Negeri AS sejak 1999.
EDITOR : SOLSILARE.