KAWANUAPOST.COM – BICARA soal prostitusi sangat sensitif dan kontroversial sifatnya, karena berhubungan erat dengan seks dan uang. Beberapa negara melegalkan bisnis asusila ini, sementara kebanyakan negara masih menjadikan hal yang tabu untuk profesi ini.
Meski begitu, layanan esek-esek terus berkeliaran tak terkendali oleh pemerintah, atau memang sengaja dibiarkan sebab toh, pemerintahnya belum mampu membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendidikan maupun menjangkau serta memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya.
Kebanyakan perempuan menjalankan pekerjaan ini karena terpaksa dan demi uang. Tidak perlu keterampilan maupun kecerdasan intelektual, cukup pasang badan, pandai merawat diri dan berlagak puas.
Di Uganda, salah satu negara di kawasan Afrika Timur merupakan daerah yang terkenal akan prostitusinya se-antero Benua Hitam. Pasalnya, kehidupan prostitusi di Uganda sudah sejak lama menjadi warisan, turun temurun dari ibu kepada anaknya.
Bisnis seksual terbesar di Uganda, yakni di Entebbe, kota yang pernah menjadi ibu kota Uganda sebelum Kampala. Generasi pertama prostitusi di Entebbe dimulai sekira satu dekade yang lalu. Berawal dari kedatangan pasukan Prancis ke pangkalan militer Entebbe. Klub malam dibangun dan menjadi kawasan kekuasaan para tentara. Gadis-gadis muda pun diambil sebagai jarahan dan pemuas nafsu mereka.
Pada masa itu bayarannya mencapai 50 euro atau sekira Rp745 ribu sekali kencan. Banyak pemudi berusia belasan tahun direkrut bergabung ke bisnis tercela ini. Mereka kesulitan dalam masalah keuangan, serta dengan kondisi terjajah dan pendidikannya rendah. Demi membayar hutang dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, mereka akhirnya bersedia melayani para tentara. Lagipula dengan jalan ini juga mereka memperoleh kesempatan duduk di bangku sekolah hingga berkuliah.
Perdagangan seksual ini terus berlanjut di Uganda. Anak-anak perempuan yang ibunya adalah seorang tuna susila, pada akhirnya diharapkan atau dilabeli oleh masyarakat sekitar, kelak akan mengikuti jejak sang ibu. Hal ini menjadi tradisi, mata rantai pencaharian yang sulit terputus.
Dilansir dari Naij, Rabu (6/1/2016), ada sekira 500 sampai 1.000 pekerja seks komersil (PSK) menjajakan diri di jalan-jalan, rata-rata beroperasi di atas jam delapan malam. Sayangnya, para pekerja dan pelanggan sama-sama tidak mementingkan kesehatan. Seperti diketahui, bisnis ini berisiko besar terjangkit HIV/AIDS.
Berdasarkan data dari Lancet, 37 persen PSK di Uganda positif terkena HIV, dan karena mereka tidak mengutamakan kesehatan, virus itu menyebar ke anak mereka dan pelanggan. Untuk itu, pemerintah Uganda mencanangkan sosialisasi kepada para PSK guna mengurangi penyebarannya.
Sering kali penyebaran penyakit ini ditumpahkan seluruhnya, menjadi tanggung jawab para PSK. Padahal, para pelanggan juga bertanggung jawab atas penyebaran virus penyerang kekebalan tubuh ini.
Salah seorang perempuan PSK yang diwawancara Codewit, mengungkap ia sebenarnya selalu mengingatkan konsumennya untuk memakai pengaman. Namun mereka cenderung selalu menolak.
Ia mengaku selain takut terjangkit HIV, ia juga khawatir akan kehamilan dari pria yang tidak ia kenal. Sementara dirinya sudah punya tanggungan, yakni dua orang anak dan telah bercerai dari suaminya.
“Saya berharap, orang-orang tidak hanya melihat kami sebagai biang masalah, tetapi pandanglah dan ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang yang terdesak dan tersudutkan ke pinggir jalan demi bertahan hidup di tengah badai kehidupan yang keras ini,” pintanya.
EDITOR : HERMAN M.