KAWANUAPOST.COM – SEORANG penyair Prancis, penerjemah sekaligus kritikus berpengaruh pada abad ke 19 (1800-1890), Charles Baudelaire (1821-1867) pernah mengemukakan, prostitusi adalah seni.
a�?Apa itu seni? Prostitusi,a�? jawab Baudelaire tegas dalam Journaux Intimes (jurnal pribadi) miliknya. Pada masa itu, bisnis seksual adalah inspirasi terbesar dalam produksi karya seni para seniman di Paris.
Dua lukisan paling revolusioner yang diakui sepanjang sejarah, Olympia karya Edouard Manet dan Demoiselles da��Avignon karya Pablo Picasso pun menggambarkan sosok perempuan penjaja seks selaku objek utamanya.
Di Negeri Mode, menjajakan seks diperbolehkan dan merupakan profesi yang legal secara hukum. Oleh karena itu, para Pekerja Seks Komersil (PSK) baik heteroseksual maupun homoseksual, memiliki kewajiban membayar pajak.
Meski begitu, penelitian yang dirilis Europe Comission (EC) pada awal tahun 2015 menunjukkan, bisnis prostitusi setiap tahunnya telah merugikan negara sebesar 1,6 miliar euro atau kini setara Rp24 triliun. Padahal pendapatan rata-rata dari industri ini bisa mencapai 87.700 euro atau Rp1,3 miliar per tahun.
a�?Jika para pelanggan layanan seksual itu menghabiskan uang mereka untuk kegiatan lain, pendapatan pajak Prancis tentunya akan meningkat secara drastis dan berhemat ratusan juta euro per tahun,a�? ujar peneliti dari European Commission, dilansir dari Russia Today, Senin (11/1/2016).
Diprediksi ada sekira 37 ribu PSK yang tersebar di seluruh Prancis. 62 persennya beroperasi secara online, 30 persen menjual diri di jalanan dan delapan persen lagi mencari pelanggan dengan bekerja di klub malam atau panti pijat plus-plus.
Hasil penelitian dari EC sendiri mengundang sejumlah kritik. Salah satunya mengatakan, hasil itu tidak valid karena prostitusi adalah bisnis gelap yang dijalankan secara tertutup dan sembunyi-sembunyi.
a�?Bagaimana mereka bisa tahu jumlah pelacur di Prancis? Ini adalah industri di mana semuanya rahasia dan buram. Jumlahnya lebih dari itu,a�? protes Maitresse Gilda, juru bicara PSK di Prancis.
Pada abad ke-19, prostitusi begitu bebas dan terbuka di Paris. Namun, sejak 1946, Napolleon III mulai mengetatkan peraturan dan kebijakan terkait pelacuran. Industri a�?esek-eseka�� masih dilegalkan, secara komersil untuk mereka yang berusia minimal 18 tahun, dengan penarikan pajak yang tergolong besar.
Akan tetapi, mereka dilarang menjajakan diri di jalan-jalan, beriklan, mendirikan rumah bordil serta menjadi mucikari. Profesi mucikari dilarang karena dinilai sebagai perdagangan manusia. Pemerintah bahkan membuat sanksi perdata dan pindana bagi para pelanggarnya. Hukuman penjara kira-kira enam bulan atau membayar denda sebesar USD7.500 atau Rp103,8 juta.
Beberapa karya seni menampilkan para pelacur dalam balut kemewahan, berkalung berlian, perhiasan mahal dan mandi dalam kolam sampanye. Faktanya, sebagian besar PSK adalah kelompok sosial yang putus asa, yang melarikan diri dari hingar bingar negeri romantis ini. Mereka hidup dalam kemiskinan, tanpa perlindungan hukum dan sering menjadi korban kekerasan. Demikian yang diwartakan BBC.
Popularitas Mancanegara
Walaupun mucikari termasuk tindakan ilegal, ternyata ada seorang germo terkenal dari Prancis yang diduga menjadi orang yang berjasa memilih dan mengirimkan PSK kepada para pempimpin negara di dunia yang berminat memasan layanan seksual di negeri berikon Menara Eiffel tersebut.
Ia adalah Fernande Grudet atau lebih dikenal dengan nama Madame Claude. Dilaporkan Mirror, perempuan yang baru saja meninggal sebulan lalu pada usia 92 tahun, mampu mengatur pertemuan penting dengan para petinggi negara itu dengan bayaran USD10 ribu per hari.
Fernande Grudet
Beberapa kliennya, antara lain Presiden Amerika Serikat ke-35, John F Kennedy, Presiden Libya Muammar Gaddafi dan seorang komandan militer Israel Moshe Dayan, hingga aktor ternama Hollywood Marlon Brando. Mereka memesan PSK melalui telefon dengan kata sandi a�?wanita panggilana�� (call girl).
Madame Claude sendiri merupakan mantan pejuang Prancis dalam perang melawan Nazi selama Perang Dunia II. Ia mulai membuka rumah bordil di jalan 32 Rue de Boulinvillers di Paris setelahnya. Usahanya mengalami masa jaya antara tahun 1960 dan 1970-an.
Bisnis birahi sang madame juga memiliki kata sandi khusus, yakni angsa. Selain para pria terkenal dan berpengaruh di atas, ada satu blok di rumah bordilnya yang dilowongkan bagi anggota organisasi internasional t ermasuk CIA.
Red Light District atau lokasi popular prostitusi di Prancis bisa disambangi di Pigalle. Di kawasan ini tersedia pusat hiburan seksual, seperti sex shops, teater dan bioskop film dewasa, kafe-kafe, restoran dan klub-klub yang menyajikan pertunjukkan kabaret dan lain sebagainya.
Para pekerja tuna susilanya pun beragam, tidak hanya dari kalangan Prancis. Ada juga yang berasal dari Asia dan kawasan Eropa lainnya. Dua tempat yang paling ramai dikunjungi di Place Pigalle, yakni Divan du Monde dan Moulin Rouge.
EDITOR : HERMAN MANUA.