KAWANUAPOST.COM – PERHELATANA�Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX 2016 di Jawa Barat saat ini tengah berlangsung dan turut dinikmati segenap masyarakat negeri ini yang ingin melihat prestasi atlet-atlet kebanggaan setiap daerah beradu kemampuan.
Tapi tahukah Anda bahwa gelaran PON I puluhan tahun lalu, digelar di tengah masa revolusi? Di tengah gejolak perjuangan Republik Indonesia yang masih berusaha mendapat pengakuan kedaulatan dari dunia internasional?
Upaya republik mendapatkan pengakuan dunia meski terus dirongrong Belanda selain dengan cara diplomasi, adalah dengan jalan olahraga. Situasi saat itu untuk melancarkan upaya pengakuan lewat olahraga sedang memungkinkan, lantaran konflik tengah reda pasca-Agresi Militer Belanda I dan Perjanjian Renville.
Awalnya Indonesia yang saat itu sudah punya federasi olahraga bernama PORI (Persatuan Olahraga Republik Indonesia), ingin mengirimkan atlet-atletnya ke Olimpiade XIV London (Inggris) 1948. Namun upaya Indonesia itu a�?dijegala�? yang saat itu masih sekutu Belanda.
Inggris menolak permintaan Indonesia untuk turut berpartisipasi dengan alasan, Indonesia belum jadi anggota IOC atau Komite Olimpiade Internasional. Untuk bisa jadi anggota IOC, Indonesia harus lebih dulu resmi jadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Penawar Kecewa
Sebagai a�?penawara�? kecewa, Inggris mengundang delegasi Indonesia yang rencananya, akan diwakili Letkol Aziz Saleh, Mayor R. Maladi sebagai Menteri Olahraga I dan Sri Sultan Hamengku Buwono selaku Ketua Komite Olimpade Republik Indonesia (KORI).
Namun mereka batal memenuhi undangan sebagai delegasi negara pengamat di Olimpiade London, lantaran enggan mengiyakan keharusan menggunakan paspor Belanda. Mereka hanya ingin diakui sebagai delegasi Republik Indonesia.
Sementara ikut Olimpiade London gagal, para tokoh olahraga republik tak patah arang. Malah dalam Konferensi Darurat PORI pada 1 Mei 1948, disepakati untuk mengadakan sebuah perhelatan olahraga multicabang di negeri sendiri.
Keputusan itu berasal dari gagasan bahwa PORI ingin membuat sebuah gelaran olahraga yang serupa dengan event yang pernah diselenggarakan ISI (Ikatan Sport Indonesia) pada 1938 bertajuk a�?ISI-Sportweeka�?.
Dengan begitu, PON I disepakati bersama dalam konferensi tersebut, di mana juga turut ditentukan kapan dan di mana PON pertama akan digelar. Setelah diskusi singkat, dipilihlah Kota Solo dengan Stadion Sriwedari sebagai venue utama PON yang dijadwalkan mulai digelar pada 8-12 September 1948
Saat itu pertimbangannya adalah di wilayah republik yang kian sempit akibat Perjanjian Renville pasca-Agresi Militer I Belanda, hanya Stadion Sriwedari yang sarana dan prasarananya sesuai persyaratan gelaran olahraga multicabang.
Presiden Soekarno
Stadion Sriwedari sebagai salah satu stadion terbaik di Indonesia kala itu juga dilengkapi kolam renang dan beberapa sarana olahraga lainnya. Upacara Pembukaan PON I pun berlangsung meriah dengan turut dibuka langsung oleh Presiden RI pertama Soekarno.
Dulu, peresmian secara simbolis pembukaan PON tidak seperti sekarang yang ditandai dengan disulutnya obor PON. Seperti dikutip buku a�?Dari Revolusi 1945 sampai Kudeta 1966: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawaa�� oleh Maulwi Saelan, yang diarak bukan obor, melainkan bendera merah putih.
Dalam perhelatan sepekan itu, tercatat ada 600 atlet dari 13 kontingen yang turut berlaga di sembilan cabang. 13 kontingen yang ikut berpartisipasi saat itu berasal dari Kontingen Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Solo, Magelang, Semarang, Kediri, Madiun, Pati, Kedu, Surabaya, Malang dan Banyumas.
Adapun sembilan cabang yang dipertandingkan adalah atletik, bola keranjang (korfball), bulu tangkis, tenis, renang, panahan, bola basket, pencak silat dan tentunya sepakbola sebagai cabang paling populer.
Dengan penjagaan ketat tentara republik wilayah Solo maupun Pasukan Siliwangi, perhelatan PON I sukses digelar dengan aman hingga rampung, di mana PON pertama itu menghadirkan Kontingen Solo sebagai juara umumnya.
Tuan rumah total mengumpulkan 36 medali dari 108 medali yang diperebutkan, sebelum akhirnya gelaran PON I ditutup secara resmi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Yang jadi renungan mengenai riwayat PON pertama ini adalah, begitu gigihnya para tokoh olahraga untuk bisa menggelar pesta olahraga empat tahunan, meski dalam a�?suasanaa�? ancaman Belanda yang dikemudian hari, lagi-lagi mengadakan agresi pada 19 Desember 1948.
Tujuan lainnya tentu saja untuk menunjukkan pada dunia internasional, bahwa RI meski wilayahnya kian menyempit akibat Perjanjian Renville, masih sanggup menggelar event olahraga multicabang berskala nasional.
EDITOR : HERMAN MANUA.