KAWANUAPOST.COM – PENGHUJUNGA�September menjadi saksi betapa kejam sekaligus kuatnya Nazi Jerman di masa Perang Dunia II. Pada 27 September 1939, pasukan Nazi Jerman menahan sekira 140 ribu pasukan Polandia yang menyerahkan diri setelah bertarung secara gagah berani selama 26 hari.
Setelah Polandia menyerahkan diri, Jerman mulai menjalankan program teror secara sistematis, yakni pembunuhan dan eksekusi mati terhadap kalangan menengah atas Polandia. Dokter, guru, pemuka agama, pemilik tanah, dan pengusaha dikumpulkan lalu dibantai habis.
Pastor dari Gereja Katolik Roma tidak luput dari kekejaman tersebut. Nazi Jerman menganggap mereka sebagai sumber perselisihan dan pemberontakan. Di sebuah Keuskupan Agung di barat Polandia saja, 214 orang Pastor ditembak mati. Ratusan ribu warga Polandia terpaksa mengungsi ke arah timur dan Jerman mulai menduduki wilayah yang ditinggalkan tersebut.
Pendudukan tersebut adalah bagian dari master plan Adolf Hitler. Der Fuhrer meminta anak buahnya untuk mempersiapkan Polandia sebagai wilayah buangan pada Agustus 1939. Nazi Jerman mengumpulkan warga Polandia keturunan Yahudi sebagai awal pemusnahan. Nazi Jerman lalu membangun semua jalan di Polandia menuju Kamp Konsentrasi Auschwitz.
Berselang 365 hari kemudian, tepatnya 27 September 1940, Nazi Jerman bersama Italia dan Jepang membentuk sekutu dengan menandatangani Pakta Tripartit di Berlin, Jerman. Poros tripartit memungkinkan anggotanya untuk saling bantu ketika menderita akibat perang.
Pembentukan poros dianggap sebagai unjuk kekuatan kepada pasukan Amerika Serikat (AS). Dengan kerjasama tersebut, Negeri Paman Sam diyakini akan berpikir dua kali sebelum menyerbu salah satu dari Jerman, Italia, atau Jepang.
Pakta Tripartit Berlin mengakui adanya dua kekuatan besar dan berpengaruh di dunia. Jepang mengakui kepemimpinan Jerman dan Italia dalam membentuk tatanan baru di Eropa. Sebagai imbalan, Negeri Matahari Terbit diberikan kekuasaan di Asia Timur.
Eksekusi Mati Pamungkas Spanyol
Sejarah penting lainnya dicatat oleh Spanyol. Negeri Matador menjalankan eksekusi mati terakhirnya pada 27 September 1975 kepada dua anggota pemberontak bersenjata Euskadi Ta Askatasuna (ETA) dari suku Basque dan tiga orang anggota Front Patriotik Antifasisme (FRAP).
Lima orang tersebut dieksekusi oleh regu tembak setelah terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer atas pembunuhan terhadap polisi dan garda sipil. Pada masa itu, Spanyol adalah negara penganut diktator terakhir di Eropa Barat sejak runtuhnya Nazi Jerman dan fasisme Italia dengan masih bercokolnya Jenderal Fransisco Franco.
Eksekusi mati tersebut membuat pemerintah Spanyol mendapat kritikan tajam, tidak hanya dari dalam, tetapi juga dari luar negeri. Kedutaan-Kedutaan Besar Spanyol di berbagai negara menjadi sasaran serangan teror. Bahkan 15 negara memanggil pulang perwakilan diplomatik mereka dari Spanyol.
Akhirnya, eksekusi mati terhadap lima orang tersebut menjadi yang terakhir di Spanyol, diikuti dengan meninggalnya Jenderal Fransisco Franco pada November 1975. Pada 1978, Konstitusi Spanyol mencabut sebagian besar praktik hukuman mati dengan pengecualian terhadap pelaku kejahatan perang. Namun, pengecualian itu akhirnya dicabut sepenuhnya pada 1995.
EDITOR : HERMAN MANUA.