HONGKONG, Kawanuapost.com – Demonstrasi besar menuntut pelaksanaan demokrasi yang transparan dan adil melanda Hongkong dalam dua pekan terakhir. Jika membaca sejumlah artikel pers Barat tentang protes pro-demokrasi yang sedang berlangsung itu, Anda mungkin menemukan sejumlah berita yang menggambarkan, dalam nada yang mungkin terdengar seperti terkejut atau heran, tentang betapa bersih dan teraturnya demonstrasi itu.
Hal tersebut telah membuat sejumlah pengamat, termasuk beberapa wartawan yang menulis berita-berita itu, menyatakan bahwa keteraturan tersebut menunjukkan ciri-ciri budaya yang unik yang layak dipuji dari warga Hongkong, yang mereka gambarkan sebagai lebih bertanggung jawab dan damai ketimbang para pengunjuk rasa di belahan lain dunia.
Sementara itu, sejumlah pengamat lain berpendapat bahwa liputan media semacam itu berbau rasialis, baik karena hal itu seakan mengarah pada stereotip tentang perilaku baik dan tertib orang Tiongkok atau karena menyiratkan bahwa para demonstran non-Tiongkok lebih menyukai kekerasan.
Harian New York Times, misalnya, membuat laporan dengan judul “Aksi Protes Hongkong Tanpa
Pemimpin, tetapi Tertib”. BBC membuat judul “Hal-hal yang Hanya Terjadi dalam Unjuk Rasa di Hongkong”. Laporan BBC itu menyebutkan (disertai foto) bahwa, sambil berunjuk rasa, para demonstran Hongkong juga mengerjakan tugas sekolah atau kuliah, meminta maaf lewat sejumlah poster kepada warga karena telah menutup akses ke sarana transportasi umum, menggunakan payung untuk membela diri, bahkan peduli pada bau badan sesama demonstran dengan menawarkan pengharum pakaian secara gratis.
Terkait laporan-laporan semacam itu, Max Fisher dalam artikelnya di Vox.com, Kamis (2/10/2014), meminta pembaca untuk melihat, dengan lebih banyak nuansa, mengenai hal yang terjadi di jalan-jalan Hongkong sekarang ini dan mengapa hal itu terjadi. Ia menyoroti dua hal.
Pertama, para pengunjuk rasa melakukan upaya yang disengaja dan berorientasi politik demi menjaga ketertiban, dan hal itu memang layak diberitakan. Menurut Fisher, adalah benar bahwa para demonstran Hongkong telah berusaha keras untuk menjaga kebersihan dan kesopanan. Awak kebersihan ditugaskan, dan pengumpulan sampah diorganisasi. Ketika hujan turun baru-baru ini, para pengunjuk rasa memayungi polisi yang beberapa saat sebelumnya telah menindak mereka. Itu disengaja, pilihan strategis yang sejalan dengan tujuan-tujuan politik para pengunjuk rasa, serta sebagai ungkapan tulus kebanggaan komunal.
Fisher menegaskan bahwa tindakan itu dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan masyarakat sipil yang bertanggung jawab dan upaya melawan tuduhan, yang sudah dikemukakan oleh media resmi Pemerintah Tiongkok bahwa para demonstran disetir oleh para penjahat atau secara aktif berupaya untuk mengganggu ketertiban.
Tuduhan itu sangat berbahaya, tidak hanya itu dapat digunakan untuk melemahkan dukungan bagi para demonstran, tetapi juga dapat digunakan untuk membenarkan kekerasan, seperti dalam pembantaian Lapangan Tiananmen 1989, sebuah kemungkinan yang dapat diantisipasi para pengunjuk rasa.
Para pengunjuk rasa memahami bahwa salah satu cara untuk mencegah hal itu adalah dengan secara jelas menunjukkan, mereka bertanggung jawab menjaga ketertiban umum, dan mereka bukanlah penjahat.
Bagi para wartawan, melaporkan kejadian ini adalah tepat secara jurnalistik. Selanjutnya, para pengamat yang mendukung para pengunjuk rasa akan menyambut baik berita semacam ini, yang memang secara aktif ditanamkan oleh para pengunjuk rasa dengan alasan yang tepat.
Kedua, praktik demonstrasi semacam itu tidak hanya terjadi di Hongkong. Hal tersebut, kata Fisher, merupakan sebuah fakta yang sangat penting untuk dipahami. Bagaimanapun, para pengunjuk rasa Hongkong bukanlah yang pertama dalam sejarah protes semacam ini. Aktivitas serupa antara lain terjadi saat unjuk rasa di Tahrir Square, Kairo, Mesir, tahun 2011; di Taman Taksim Gezi, Istanbul, pada 2013; serta di Ferguson, Missouri, AS, pada awal tahun ini. Dalam semua kasus, hal itu dilakukan untuk tujuan yang sama.
Namun, Fisher menyayangkan sejumlah penulis yang berfokus pada isu-isu tentang Tiongkok, yang sebagian dianggap paling berbakat dalam jurnalisme internasional karena telah secara eksplisit menulis bahwa praktik itu dianggap unik untuk para demonstran Hongkong.
Menurut Fisher, hal itu sesungguhnya keliru. Itu merupakan kelemahan jurnalis dengan spesialisasi di kawasan tertentu sehingga mereka jadi kehilangan konteks global. Lebih buruk lagi, kata dia, para penulis dalam laporannya menggambarkan hal itu sebagai ciri budaya warga Hongkong yang layak dipuji. Stereotip, walaupun positif, tetap saja stereotip. Dalam konteks Amerika, ciri kebersihan dan ketaatan ini sering dianggap stereotip positif orang Tiongkok sebagai minoritas, yang sesungguhnya merendahkan dan rasialis.
Fisher hendak mengatakan bahwa berita mengenai para demonstran Hongkong yang berusaha keras untuk mempertahankan suasana yang bersih dan atmosfer saling menghormati bukannya tidak bertanggung jawab atau merupakan hal yang rasialis. Namun, itu memang merupakan bagian dari strategi politik mereka dan bernilai berita. Namun, adalah mungkin, dan terlalu mudah, melaporkan hal ini dengan cara yang melanggengkan stereotip berbahaya dan merugikan para demonstran itu dengan merendahkan nilai tindakan mereka sebatas karena hal itu terkait ras atau budaya.(kpc)