KABUL – KawanuaPost.com – Ferozah sepertinya berusia antara 60-70 tahun karena ia tak tahu umur persisnya. Dia tak pernah bersekolah tapi mampu memimpin kesatuan polisi di kawasan Sistani, Provinsi Marjah, Afghanistan. Dia mengabdikan dirinya kepada negara setelah anak laki-lakinya terbunuh.
Dia pernah menerima penghargaan tertinggi untuk perempuan di Afghanistan, yaitu medali Malalai. Nama medali tersebut berasal dari seorang pejuang perempuan abad ke-19 yang melawan Inggris.
Menjadi perempuan pemimpin di pedesaan yang kaum hawanya jarang bekerja di luar rumah tentu unik. Tapi masih ada lagi. Dua cucu laki-laki Ferozah, Faizal Mohammed (13) dan Sultan Mohammed (14) turut membantu perlawanan neneknya. Dengan cepat dan berpengalaman mereka bisa melepas lalu memasang kembali senapan Kalashnikov.
“Kelompok Taliban mengejek saya. Kata mereka, ‘Kamu sudah tak punya apa-apa, cucumu saja kau persenjatai’. Tapi pemerintah menang dan mereka yang kalah,” kata Ferozah, sebagaimana dilansir BBC, Rabu (22/7/2015).
Ferozah menyebut cucu-cucunya ‘pejuang Sistani’ yang sudah menghadapi banyak perlawanan dengan Taliban. Mereka adalah bocah serdadu yang keberadaannya melawan hukum internasional. Sistani berada di garis depan antara zona padat populasi di tengah, tempat sebagian besar orang tinggal, dan area yang kosong di utara dan selatan.
Sepeninggal tentara Inggris dan pasukan asing lainnya akhir tahun lalu, keberadaan kelompok Taliban di Provinsi Helmand, Afghanistan selatan, bertambah kuat. Tak lagi khawatir akan serangan dari udara, kelompok Taliban melakukan penyerangan yang lebih besar dan memperluas kekuatan mereka sampai ke kota-kota terisolir di utara provinsi tersebut, termasuk Sangin dan Musa Qala.
Keberadaan Taliban juga menyulitkan proses perbaikan pembangkit listrik tenaga air di Kajaki. Jika pembangkit tersebut beroperasi dalam kapasitas penuh, maka ada perubahan standar hidup yang signifikan di wilayah tersebut.
Salah satu bagian dari kekuatan Afghanistan yang berupaya melawan Taliban adalah polisi-polisi lokal, termasuk Ferozah.
Pedagang lokal ‘hancur’
Kini bantuan untuk Afghanistan berkurang jauh dari sebelumnya, dan penurunan bantuan itu terasa datang bersamaan dengan kepergian semua keberadaan asing. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi dalam beberapa tahun ternyata adalah gelembung akibat perang.
Lemari di toko-toko di Lashkar Gah penuh dengan barang-barang yang rencananya akan dijual ke tentara Inggris. Pemilik toko Jan Ali sudah berusaha menjual sereal sarapan atau barang produk asing lain ke orang-orang lokal. Tapi dia tahu dia tak bisa menjual barang-barang lain.
“Tak ada orang di sini yang tahu apa itu tepung pancake,” katanya.
Seperti pedagang lainnya, dia terkejut dengan kepergian tentara asing, meski tanggal keberangkatan sudah diumumkan.
Media di Afghanistan berperan dalam kebingungan ini. Mereka memunculkan teori konspirasi yang banyak dipercaya tentang tentara asing yang tak akan pergi.
Dampak perginya tentara Inggris juga dirasakan selain oleh pemasok produk Inggris. Seperti Haji Nazir Ahmad yang menutup perusahaan konstruksinya setelah pemerintah tidak bisa membayar kontrak bangunan yang sudah ia kerjakan.
Dia membawa beberapa inovasi ke Lashkar Gah, termasuk merancang tempat sampah untuk kota tersebut. Katanya, pemerintah lokal yang memesannya “tidak tahu seperti apa bentuk tempat sampah”, maka dia membuat satu contoh.
Ahmad sudah berinvestasi jutaan dolar untuk pabrik dan mesin yang kini tak beroperasi dan hanya bisa dijual untuk besi kiloan. Dia sudah memecat 350 pekerja dan biaya sosialnya cukup tinggi, termasuk perpecahan antar keluarga dan kekerasa terhadap perempuan.
Menurutnya, beberapa mantan pegawainya bekerja dengan Taliban, dan bahkan dia bertemu dengan pekerja-pekerja terbaiknya di jalan berjualan heroin.
Narkoba murah
PBB sudah memprediksi rekor baru panen besar opium -barang mentah heroin- di Afghanistan, dan Provinsi Helmand adalah penghasil terbesar.
Dampak sosial di Helmand juga besar. Ada sekitar 110 ribu pecandu heroin di provinsi tersebut, angka yang mewakili 7 persen jumlah penduduk. Pecandu yang meminta-minta makanan di pasar sudah jadi sesuatu yang biasa.
Bangunan utama bekas markas pusat Inggris di Lashkar Gah sudah menjadi klinik rehabilitasi narkoba. Satu kamar yang dulu ditempati tentara Inggris kini menampung tiga pecandu yang akan tinggal di sana selama enam minggu.
Namun klinik hanya bisa menampung 50 pasien. Kondisi yang tidak stabil, pengangguran, dan ketersediaan narkoba murah membuat perawatan di klinik punya kans sukses yang kecil.
Perlawanan intens selama sembilan tahun dari tentara asing tak berhasil menghentikan produksi, malah makin meluas. Satu-satunya perbedaan, produksi heroin kini tak lagi berada di zona tengah yang padat penduduk, tapi ke area-area kosong yang jauh dari kanal Helmand.
EDITOR : HERMAN. M.