Amerika Serikat dan sejumlah negara dunia mengecam kudeta militer di Thailand yang terjadi Kamis (22/05) kemarin.
“Selagi kami menghormati nilai persahabatan kami dengan Thailand, tindakan ini akan memiliki dampak negatif kepada hubungan AS-Thailand, terutama hubungan kami dengan militer Thailand.”
Sekitar US$10 juta bantuan bilateral bisa dihentikan sementara.
Sementara itu, Presiden Prancis dan Kementerian Luar Negeri Jerman mengecam kudeta itu, sementara menteri luar negeri Jepang menyebut tindakan kudeta sebagai hal yang “disesalkan”.
Pemerintah Inggris mendesak “semua pihak untuk mengesampingkan perbedaan dan menjalani nilai-nilai demokrasi dan aturan hukum.”
Juru bicara untuk Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton mengatakan sangat penting untuk menyelenggarakan “pemilu yang kredibel dan inklusif sesegera mungkin”.
Adapun Perserikatan Bangsa-Bangsa mengekspresikan kekhawatiran yang serius.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mendesak “kembali diberlakukannya aturan konstitusi, sipil, dan demokrasi.
Pada Kamis (22/05), militer menghentikan sementara konstitusi, melarang adanya kegiatan berkumpul, dan menahan sejumlah politisi, antara lain pemimpin gerakan oposisi Suthep Thaugsuban dan pemimpin pro-pemerintahan Jatuporn Prompan.
Pejabat Perdana Menteri Niwatthamrong Boonsongphaisan tidak diketahui keberadaannya
Militer mengatakan tindakan itu dibutuhkan setelah gejolak politik yang tak kunjung usai selama berbulan-bulan.
Angkatan Bersenjata sebelumnya menyatakan kondisi darurat militer pada Selasa (20/05), dan dua hari berikutnya mengumpulkan para pimpinan politik di Bangkok untuk membicarakan krisis.
Ketika pertemuan berlangsung, wartawan BBC di Bangkok Jonah Fisher dan sejumlah wartawan lain menyadari bahwa kudeta juga tengah berlangsung
Kemudian, komandan militer Jenderal Prayuth Chan-ocha berbicara di televisi untuk mengumumkan kudeta. (BBCI)