Gebrakan Menteri Susi Resahkan Warga Keturunan Sangihe di Filipina Selatan

Warga keturunan Sangihe di Filipina Selatan (foto istimewa)
Warga keturunan Sangihe di Filipina Selatan (foto istimewa)

 

GENERAL SANTOS, Kawanuapost.com – Sejumlah tokoh masyarakat keturunan Sangihe di General Santos (Gensan) Mindanao Filipina Selatan mengaku mulai resah dengan dampak sosial yang harus dialami mereka akibat kebijakan tegas Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti yang telah dilakukan sejak November 2014 lalu. ” stok ikan segar yang masuk ke Gensan mulai berkurang dan memukul banyak pabrik ikan di sini, akibatnya ancaman pemberhentian tenaga kerja terhadap saudara-saudara kita warga asal Sangihe di sini juga mulai terjadi. Tak itu saja. Sebab, warga Filipina di Gensan mulai menyindir kebijakan Menteri Susi itu dengan keberadaan kami warga di sini,” kata dua tokoh Sangihe di Gensan, Pendeta Yosaphat dan Fransine Wolf dalam dialog dengan Yudhi Wijayanto ST, M.Si dari Sekretariat Kepresidenan RI, Sabtu (8/2) akhir pekan lalu di Gensan.

Yudhi Wijayanto sendiri sejak Kamis (6/2) lalu mengunjungi kawasan pemukiman warga asal Sangihe di Gensan dan warga asal Talaud di Tibanban, Davao. Kunjungan itu terkait dengan pengumpulan data penelitian yang sedang dilakukan Yudhi Wijayanto untuk penyusunan disertasi tugas akhirnya sebagai Mahasiswa Program Doktor/S3 Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Apalagi tema disertasi yang diambil Yudhi Wijayanto adalah Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Terluar di Perbatasan Indonesia dengan mengambil studi kasus Pulau Miangas dan Pulau Marore di Sulut dibawah bimbingan Promotor Prof. Eko Prasojo dan Kopromotor Dr. Son Diamar.

Kunjungan ini dilakukan bahwa selain untuk melihat wilayah perbatasan Indonesia dari dalam, juga ingin melihat kondisi perbatasan dari negara Filipina. Yudhi Wijayanto selain berkunjung ke wilayah obyek penelitian, juga telah mengunjungi pulau terluar Indonesia lainnya yaitu Pulau Rondo di Aceh, Pulau Laut dan Pulau Sekatung di Kepulauan Riau, serta Pulau Ndana di Kabupaten Rote, NTT. Saat menggelar dialog terkait pengumpulan data di Gensan itulah, Yudhi yang didampingi dua peneliti pendamping yakni Frans Tirtohadi dari Jakarta dan Dino Gobel dari Manado, menerima ungkapan isi hati para warga terkait dampak sosial dari kebijakan tegas yang telah diterapkan Menteri Susi.

“Kebanyakan dari warga asal Sangihe di sini bekerja sebagai Anak Buah Kapal di semua kapal ikan di Filipina. Sehingga ketika kebijakan ini berlangsung, pengusaha ikan di Filipina sudah takut melaut di perairan Indonesia khususnya Sulut. Akibatnya sekarang, ikan sudah sulit, kapal susah melaut, banyak ABK mulai dirumahkan,” kata Fransine Wolf yang juga pendeta pelayanan di Gereja Pantekosta Gensan ini.
Yang membuat saya mulai resah adalah aspek sosial dari kebijakan tegas itu. “Sudah berapa kali saya naik angkot atau di tengah masyarakat mendengar kecaman warga Filipina yang menyebutkan, ribuan warga Indonesia di Filipina kami sudah anggap sebagai saudara, eh di Indonesia nelayan kami dipulangkan dan kapal kami ditembak,” kutip Fransine Wolf.

Hal senada diakui Pendeta Yosaphat yang sehari-hari melayani Gereja Gisi di Gensan. “Sebuah radio swasta di Gensan malah mulai menyindir kehidupan ribuan warga keturunan sangihe di Gensan dengan perlakuan yang dianggap kasar pemerintah di Indonesia terhadap nelayan dan kapal mereka,” kata Yosaphat.

Kedua tokoh ini pun berharap agar Presiden Jokowi bisa mencarikan solusi terhadap dampak yang ditimbulkan itu.
Sementara Presiden Diaspora Indonesia se-Mindanao, Soehardi menyatakan solusi terbaik yang diharapkan masyarakat ini tentu akan dilakukan pemerintah Indonesia. Soehardi yang juga salah satu konsul di KJRI Davao itu kepada myManado mengatakan bahwa sejumlah pengusaha perikanan Filipina di Gensan sudah menyatakan keinginannya berdialog dengan pemerintah Indonesia,”mencari solusi dari situasi ini,” kata Soehardi.

Sebagaimana diketahui, sejak ratusan tahun yang lalu banyak warga Indonesia asal Pulau Sangihe dan Talaud telah berlayar dan tinggal hingga kawin mawin di Pulau Mindanao. Data badan khusus PBB urusan pengungsi UNHCR pada 2013 lalu menyebutkan, dari jumlah resmi warga Indonesia dari dua pulau itu mencapai 4 ribuan orang yang diperkirakan terus menerus turun jumlahnya karena banyK yang memilih menjadi warga Filipina. (mym)

Tinggalkan Balasan