Manado.Kawanuapost.com – Komisi I dan Komisi II DPRD Sulut melaksanakan rapat dengar pendapat (RDP) bersama sejumlah pihak terkait, di ruang rapat serba guna DPRD Sulut, Selasa (09/05/2023).
Rapat dipimpin Ketua Komisi I Raski Mokodompit, didampingi Ketua Komisi III Berty Kapoyos, Sekretaris Komisi I Hendry Walukow, anggota Komisi Melky Jakhin Pangemanan, Fabian Kaloh dan Meyke Lavarence.
Salah satu yang dibahas dalam raoat ialah aspirasi masyarakat Desa Pulisan dan Kinunang mencari jalan keadilan sampai ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Utara (Sulut).
Polemik kepemilikan lahan dengan PT Minahasa Permai Resort Development (MPRD) yang tak kunjung selesai di wilayah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Likupang jadi penyebab.
Dalam RDP terungkap, masyarakat desa Pulisan dan Kinunang memiliki pegangan Buku Register Tanah yang dikeluarkan Camat Likupang pada tanggal 10 April 1979. Di dalamnya tertera, menetapkan tanah Pulisan sebagai bukti kepemilikan tanah masyarakat Pulisan atas pengajuan Hukum Tua (Kepala Desa) bernama Simon M. Rondonuwu kepada Pemerintah Kecamatan Likupang, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulut. Kemudian muncul HGB dari PT MPRD pada tanggal 4 Agustus 1995 yang masa berlaku sampai tahun 2025. Terkait hal ini masyarakat menduga adanya permainan mafia tanah di dalamnya.
“Meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Utara agar segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) pengusutan untuk penyelesaian tanah khusus desa Pulisan dan Kinunang, agar mendapatkan titik terang seterang-terangnya,” kata Stefanus Takumangsang selaku Koordinator Forum Masyarakat Pulisan dan Kinunang dalam tuntutan dan aspirasi yang dilayangkan ke DPRD Sulut.
Anggota Komisi I DPRD Sulut, Melky Pangemanan menyampaikan, dirinya tidak mau mendengar dari Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Sulut soal alasan bahwa masalah itu ada di kepemimpinan sebelumnya. Harus ada tanggung jawab dari pihak Kanwil terkait persoalan itu.
“Kita harus punya keputusan yang kuat dalam forum RDP ini, karena masyarakat menunggu berbulan-bulan dan bertahun-tahun terkait adanya kepastian hukum. Sekarang ada reforma agraria, makanya perlu berpihak kepada kepentingan publik. Masyarakat miskin merasakan betul ketidakadilan negara kepada mereka,” tegas Pangemanan.
Politisi Partai Solidaritas Indonesia ini juga menyampaikan, harus ada komitmen kuat dari pemerintah untuk membuka tabir ketidakadilan yang terjadi.
“Masyarakat juga mengurus ini menguras tenaga dan materi. Mereka bertahan survive karena memikirkan keluarga mereka. Jangan sampai juga negara berpihak kepada kepentingan-kepentingan kapitalis. Dulu kita dijajah kolonial, kini kita dijajah bangsa sendiri. Makanya kami berupaya memfasilitasi, barangkali ada miskomunikasi. Untuk itu perlu ada kepekaan dari Kakanwil (Kepala Kantor Wilayah BPN, red),” ujarnya.
Kakanwil BPN Provinsi Sulut, Jaconias Walalayo menyampaikan, dalam persoalan ini dirinya melihat ada dua hal. Pertama, terkait adanya dugaan dokumen-dokumen yang palsu. Maka dari itu menurutnya, hal itu berarti ada di ranahnya tindak pidana di kepolisian. Kedua, terkait pembatalan sertifikat.
“Ini juga ada mekanismenya. Untuk sebuah hak sertifikat dibatalkan itu tidak gampang. Kami menghargai aduan masyarakat. Kita juga mengedepankan aturan itu yang diutamakan,” ucapnya. (*)