KAWANUAPOST.COM – SEPTEMBER berdarah tak hanya berhenti sampai peristiwa pembunuhan Gubernur Jawa Timur yang pertama, Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo di Ngawi. Di bulan dan tahun yang sama, sebuah pemberontakan sayap kiri bahkan mengancam eksistensi Republik Indonesia yang baru berusia tiga tahun.
Bak sebuah benang merah yang berkaitan, kelompok yang se-ideologi membunuh Gubernur Soerjo, juga meletupkan Madiun Affair atau Peristiwa Madiun, sebuah momen yang baru zaman Orde Baru disebut Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), pada 18 September, 67 tahun silam.
PKI yang menganggap Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai antek Jepang, Inggris dan Amerika Serikat, membuat mereka di bawah pimpinan Musso dan Amir Sjarifoeddin, memilih berontak dan mendirikan Republik Soviet Indonesia.
Kehadiran republik yang diklaim Musso itu disokong Uni Soviet, bak jadi duri dalam daging dalam revolusi negeri ini yang juga di satu sisi, masih dirongrong Belanda.
Ketegangan antara pemerintah bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan PKI dan Front Demokrasi Rakyat (FDR), sedianya sudah mulai terlecut sejak “Peristiwa Solo”, di mana FDR sukses menghasut Pasukan Siliwangi dan Panembahan Senopati hingga terjadi tembak-menembak.
Seperti dikutip dari catatan Harry A Poeze dalam bukunya, ‘Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia’, ketegangan itu kembali terjadi di Kota Madiun, di 350 personel Pasukan Siliwangi serta sejumlah anggota Brigade Mobil CPM (Corps Poilisi Militer), ditawan dan dilucuti Pasukan Brigade 29 pimpinan Soemarsono yang berkekuatan 1.500 personel pada 18 September 1948 pagi.
Hal tersebut baru terdengar di ibu kota republik saat itu, Yogyakarta pada siang hari. Sementara. Presiden Soekarno menanggapinya dengan tegas, di mana segenap rakyat harus menjatuhkan pilihan, antara ikut pemerintahannya atau ikut Musso.
“Pilih satu di antara dua. Ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta. Insya Allah dengan bantuan Tuhan, akan bisa memimpin negara Republik Indonesia yang merdeka, tidak dijajah negara manapun juga,” seru Soekarno.
Malam di hari yang sama, Musso lewat Radio Gelora Pemuda di Madiun untuk menimpali perang-perang kata dengan Soekarno yang merupakan sahabat kecilnya itu.
“Soekarno budak-budak Jepang dan Amerika. Musso selamanya menghamba pada kepentingan rakyat Indonesia. Hidup merdeka, menang perang!” seru Musso.
Namun singkat cerita, Republik Soviet Indonesia hanya seumur jagung. Pada 30 September 1948, pemberontakan PKI mampu dipadamkan kekuatan gabungan TNI.
Empat elemen yang ditugaskan antara Divisi III Pasukan Siliwangi, Divisi II Sunan Gunung Jati pimpinan Kolonel Gatot Soebroto, Divisi I pimpinan Kolonel Soengkono, serta pasukan Mobil Brigade Jatim yang dikomandoi M Yasin.
Sedikitnya kisah “pembasmian” PKI Madiun ini, sempat terabadikan dalam beberapa scene dalam film lawas produksi 1950 hasil karya Usmar Ismail bertajuk ‘Darah dan Doa’.
EDITOR : HERMAN MANUA.