KAWANUAPOST.COM – HARI terakhir bulan September dan hari pertama Oktober setengah abad silam atau 50 tahun lalu, jadi hari nan kelam – tak hanya untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI), tapi juga jadi hari-hari nan getir untuk segenap masyarakat di kolong langit Indonesia.
Sembilan perwira TNI dan satu personel polisi gugur sebagai bunga bangsa setelah jadi korban kebengisan Partai Komunis Indonesia (PKI), beserta pemuda rakyat yang sudah “terinfeksi” ideologi ekstrem kiri.
Salah satu korban Gerakan 30 September (G30S) 1965 itu adalah Mayjen TNI Raden Soeprapto. Pada 30 September 1965 malam jelang kejadian pada 1 Oktober 1965 dini hari, sedianya keluarga pejabat Deputi II Menpangad bidang Administrasi itu sudah menangkap beberapa firasat.
Seperti yang dituturkan dalam buku ‘Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965’, putri sulung Jenderal Soeprapto, Ratna Purwati, pernah ditanyakan hal yang menyayat kalbu dari ayahnya di ruang kerja jenderal kelahiran Purwokerto, 20 Juni 1920 itu.
“Kamu sedih tidak, kalau bapak meninggal dunia?,” tanya Jenderal Soeprapto yang langsung dijawab Ratna, “Bapak ngomong apa, sih?,”.
Hal ganjil lainnya yang terjadi pada 30 September malam, adalah ketika salah satu wakil Menpangad Letjen TNI Ahmad Yani itu pulang dari kantornya dengan membawa sejumlah buku baru. Padahal sehari sebelumnya, sang jenderal sudah melakukan hal yang sama.
Jenderal Soeprapto pada malam itu juga sedikitnya begadang menunggu salah satu putrinya, Sri Lestari yang tak kunjung pulang hingga jam 24.00. Sri kala itu terlambat pulang dari kawasan Harmoni, untuk penerimaan piala lomba lari.
Pada saat itulah keluarga sang jenderal melihat ayah mereka untuk kali terakhir dalam keadaan sehat. Pasalnya pada 1 Oktober sekira pukul 04.00 pagi, Jenderal Soeprapto turut diculik gerombolan berseragam tentara dengan baret Tjakrabirawa.
Pintu rumah mereka di kawasan Menteng mendapati gedoran keras. Jenderal Soeprapto melarang istri dan anak-anaknya untuk mendekati pintu. “Ada apa pagi-pagi buta begini membangunkan saya?,” ketus Jenderal Soeprapto.
“Bapak dipanggil untuk menghadap Presiden Soekarno sekarang juga,” jawab seorang dari mereka. “Kalau begitu, izinkan saya berganti pakaian terlebih dahulu,” ujar Jenderal Soeprapto lagi.
Tapi sebelum sempat berganti pakaian, Jenderal Soeprapto sudah dipaksa dengan todongan senjata, untuk dibawa ke sebuah truk hanya dengan mengenakan kemeja piyama dan sarung bermotif kotak-kotak.
Keluarga yang kala itu mengaku sangat aneh dengan kejadian itu, buru-buru mencoba mencari kontak dengan kolega Jenderal Soeprapto, yakni Mayjen Siswondo Parman yang sayangnya, juga turut jadi korban.
EDITOR : HERMAN MANUA.