JAKARTA – KawanuaPost.com – Aktor di balik kuatnya dorongan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipertanyakan. Mengingat mereka yang mendukung revisi undang-undang yang ditengarai akan melemahkan KPK itu tetap keukeuh kendati banyaknya arus penolakan.
“Siapa sebetulnya dalang di balik ngototnya revisi UU KPK, atau jangan-jangan anggota DPR yang mendukung revisi pelemahan KPK hanya simbol depan saja yang siap pasang badan. Tentu ada orang panggung belakang sebagai otaknya yang tidak setuju dengan eksistensi dan kewenangan KPK terlalu kuat,” ujar pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago kepada Wartawan, Jumat (9/10/2015).
Pengamat asal Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta itu mempertanyakan kenapa mereka yang mengajukan revisi UU KPK terkesan ngotot. Kata dia, biasanya kalau orang terlalu ngotot, ada maunya dan tak bisa dinafikan ada kepentingan besar di belakangnya.
“Pertanyaan retorisnya adalah, mengapa PDIP yang paling dominan mendukung revisi UU KPK, tampak- tampaknya karena PDIP adalah partai penguasa yang paling rawan terjerat kasus korupsi, banyak proyek dan tender yang mau dimainkan sebagai sapi perahan parpol untuk persiapan amunisi dan logistik pemilu 2019, parpol kita belum ada yang betul-betul mandiri dari segi pendanaan dan masih menempel pada BUMN, sama halnya ketika Partai Demokrat menjadi penguasa (the rulling party),” katanya.
Menurut Pangi, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa juga mengalami hal di mana tidak mampu mengendalikan dan menjinakan KPK. Pangi pun tak memungkiri ketika itu pasti SBY geram dengan KPK lantaran banyak kadernya yang dijerat kasus korupsi.
“SBY hampir tak mampu mengendalikan dan menjinakkan KPK, SBY pasti geram melihat KPK, banyak kadernya yang ditetapkan tersangka oleh KPK mulai dari ketua umum, bendahara parpol sampai menteri. Tentu PDIP tidak mau nasibnya sama seperti Demokrat yang kadernya banyak masuk jeruji besi,” ujarnya.
Pangi menambahkan, revisi UU KPK akan berhadapan langsung dengan people power dan derasnya arus opini publik. Mengingat revisi mesti berdasarkan kehendak rakyat, dan kalau bisa referendum dengan minta pendapat ke rakyat. Kemudian wakil rakyat juga mesti mendengar suara rakyat yang tak mau kewenangan KPK dikebiri, DPR juga jangan sampai dikuasai egoisme dengan menilai dirinya merasa lebih tahu yang terbaik untuk bangsa ini.
“Momentum untuk melakukan revisi UU KPK hampir tidak ada, dan tidak urgen dilakukan, padahal masih banyak program legislasi nasional yang pembahasannya menjadi prioritas untuk segera dibahas. Sudah jelas bahwa semangat revisi UU KPK lebih dominan kehendak pelemahan ketimbang penguatan KPK. Kalau kita lihat dari yang mereka tunjukkan pasal mana yang harus direvisi. Sinyal dari revisi UU KPK lebih banyak memangkas kewenangan KPK,” ujarnya.
Mulai dari KPK hanya bisa menangani perkara korupsi dengan kerugian negara Rp50 miliar ke atas, KPK harus mendapatkan izin ketua pengadilan untuk melakukan penyadapan, dan KPK lebih diarakan kepada tugas pencegahan korupsi. Lebih miris lagi umur KPK hanya dibatasi 12 tahun dan mulai berlaku pasca-ditetapkannya undang-undang tersebut.
“Ini sama saja membubarkan KPK, tidak ada yang menjamin lembaga antirasuah tetap survival. Misalnya KPK akan menangani kasus di atas Rp50 miliar, maka kasus korupsi Rp45 miliar bisa diolah dan dimainkan, potensi cukong politik bermain dan menggoreng sulit diminimalisir, sehingga mafia lepas dari jeratan hukum karena tidak lagi menjadi kewenangan KPK. Ini adalah kebahagiaan koruptor dan cukong politik,” pungkasnya.
EDITOR : HERMAN. M.