JAKARTA – KawanuaPost.com – Berulang kali Republik Indonesia yang masih “bayi” pada enam dekade lalu, diusik agresi bersenjata Belanda yang tak rela melihat bekas koloninya yang dulu bernama Hindia-Belanda itu memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945.
Belanda pun melancarkan dua agresi. Yang pertama terjadi pada Juli 1947 dan yang lebih dahsyat, terjadi hari ini 67 tahun silam atau 19 Desember 1948 yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda II atau “Clash II”.
Yogyakarta yang saat itu merupakan ibu kota republik, jadi sasaran utama. Secara mendadak, Belanda melancarkan serangan dan dalam sehari, ibu kota republik sudah di tangan pasukan agresor pimpinan Letjen Simon Hendrik Spoor, Panglima KNIL (Koninklijke Nederlands Indisch Leger) atau Pasukan Kerajaan Hindia-Belanda.
Oleh pihak Indonesia, serangan mendadak oleh Belanda yang dinamai “Operatie Kraai” atau Operasi Gagak itu disebut tindakan pengecut, lantaran Belanda menyerang dengan tidak lebih dulu menyatakan perang.
Pun begitu, detik-detik serangan itu sedianya sudah bisa diduga sebelumnya. Akan tetapi, peringatan dari perwakilan delegasi Indonesia dalam Komite Tiga Negara (KTN) di Batavia (kini Jakarta), tak bisa diteruskan lantaran komunikasi telah diputus oleh intel Belanda.
Di sisi lain, serangan ke Yogyakarta itu sedianya sudah diajukan untuk dimintai persetujuan ke Parlemen Belanda. Namun baru bisa terlaksana pada Desember 1948, setelah terjadi perdebatan alot di antara para politisi Belanda di Den Haag.
“Terlepas dari pro kontra elite politik Belanda, akhirnya parlemen Belanda memutuskan, ‘tindakan pengamanan dan menegakkan ketertiban di Yogya. Setelah itu, Spoor mendapat lampu hijau untuk menjalankan agresi,” ujar penggiat sejarah, Wahyu Bowo Laksono kepada wartawan.
“Pengumuman pun dilayangkan lewat radio Belanda, kalau mereka tak lagi terikat Perjanjian Renville pada tanggal 18 Desember jam 12 tengah malam (atau 19 Desember pukul 00.00),” tambahnya.
Namun pengumuman radio Belanda itu baru disiarkan pada Minggu pagi, 19 Desember 1948, ketika Landasan Udara Maguwo, Yogyakarta (Kini Lanud Adisoetjipto), sudah dikuasai pasukan elite Belanda, Korps Speciale Troepen (KST).
Detik-detik akan datangnya serangan itu sedianya sudah mulai dirasakan pihak Indonesia. Kolonel Tahi Bonar Simatupang dalam buku ‘Doorstoot naar Djokja’, bahkan sudah menaruh curiga ketika delegasi Belanda di KTN menyatakan akan ada pengumuman penting pada Minggu pagi, 19 Desember 1948.
“Tidak masuk akal, masak mereka mengeluarkan pengumuman penting pada hari Minggu pagi? Sewaktu mereka melakukan agresi 21 Juli 1947, (Gubernur Jenderal Hubertus) van Mook tanpa perasaan mengatakan bahwa beberapa jam sebelumnya, pasukannya sudah melintasi garis demarkasi. Apa tidak mungkin mereka juga akan melakukan pendadakan serupa?,” seru Kol. Simatupang pada Wakil Presiden, Mohammad Hatta.
“Apa mereka sudah gila? Bagaimana mungkin mereka berani menyerang republik, sementara anggota KTN bersama semua staf dan wartawan asing masih berada di Kaliurang (utara Yogya)? Tenang-tenang sajalah,” jawab Hatta.
Sabtu, 18 Desember malam, sebuah surat pun sampai ke meja Sekjen Delegasi RI untuk KTN, Mr. Soedjono yang bertuliskan, “Perjanjian harus dihapuskan dan tak lagi mengikat (RI-Belanda) terhitung sejak Minggu, 19 Desember, jam 00.00 waktu Batavia,”.
Soedjono yang terkejut pun segera memerintahkan pejabat penghubung, Joesoef Ronodipoero untuk mengontak Yogya. Sayang, semua saluran komunikasi sudah diputus. Joesoef pun menemui Ketua KTN yang juga diplomat Amerika Serikat (AS), Merle Cochran di Hotel Des Indes (kini sudah dibongkar dan dijadikan Pertokoan Duta Merlin).
“Sial, kita harus segera ke Yogya, sekarang!,” cetus Cochran saat diinfokan Joesoef soal situasi tersebut. Namun nahas, upaya mereka ke Yogya dari Landasan Udara Kemayoran, kandas karena tak mendapat izin terbang dari petugas landasan setelah dinyatakan tertutup untuk lalu lintas penerbangan.
Upaya untuk bertemu Delegasi Belanda, Elink Schuurman pun sia-sia. Laporan Joesoef ini juga disampaikan kepada Prof. Soepomo yang pernah jadi teman masa kuliah Schuurman. Tapi Soepomo tak bisa mendapat penjelasan dari Schuurman, lantaran sambungan telefonnya juga sudah diputus intel Belanda.
Di sisi lain, Jenderal Spoor sebagai perwira tertinggi pelaksana operasi mulai memerintahkan persiapan sejak 19 Desember 2015 dini hari. Operatie Kraai yang diusung Spoor, punya tiga misi.
Pertama, menangkap pimpinan sipil dan militer republik. Kedua, menguasi sentra politik dan militer. Ketiga, omsingelen en uitschakelen – melakukan aksi pengepungan sekaligus menghancurkan konsentrasi perlawanan bersenjata tentara republik.
“Belanda menyerang dengan kekuatan dua kompi KST dari Lanud Andir (kini Lanud Husein Sastranegara, Bandung), dua batalion baret hijau, T Brigade (Tijger Brigade) pimpinan Letkol van Langen dari Lanud Kalibanteng (Kini Bandara Achmad Yani, Semarang),” tambah Wahyu.
“Pasukan darat itu mengepung Yogya dari arah Solo, perbatasan Gombong, Kroya dan Ambarawa. Itu ada tiga divisi KL (Koninklijke Landmacht/AD Belanda), 23 Batalion KNIL, ditambah kavaleri, artileri didukung pesawat angkut dan pesawat tempur,” imbuhnya lagi.
“Tapi dari kesaksian pasukan TNI saat itu yang jaga perbatasan (garis demarkasi) Kebumen-Gombong, tidak banyak yang tahu bahwa infantri pelopor Belanda merangsek ke Yogya, menyamar dengan kendaraan PBB sejak 18 Desember malam,” sambung Wahyu.
Sementara di Lanud Andir jelang serangan, Spoor menggelar briefieng singkat kepada para pasukan KST pimpinan Kolonel Van Beek.
“Kalian terpilih untuk de laatste actie. Diterjunkan di Maguwo sebelum fajar, kemudian membebaskan Yogya dari tangan ekstremis serta menangkap Soekarno bersama pengikutnya. Saya menaruh kepercayaan. Semoga Tuhan melindungi,” seru Spoor dalam buku ‘Doorstoot naar Djokja’.
Serangan udara pada pukul 05.15 pun mengawali Operatie Kraai. Pesawat Pembom B-25 Mitchell memuntahkan sejumlah bom yang segera disusul tembakan senapan mesin lima pesawat pemburu P-51 “Mustang”, serta sembilan pesawat P-40L “Kittyhawks”.
Pukul 06.45 perlawanan minim dari pasukan dan kadet Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dengan mudah dilumpuhkan. Tak berapa lama, pasukan KST pun terjun. Singkat kata, Yogyakarta sudah bisa dikuasai pada tengah hari dengan ditangkapnya Soekarno.
Sementara, Wakil Agung Mahkota, Louis Beel, baru menyatakan Belanda tak terikat lagi dengan Perjanjian Renville, lewat Radio Batavia pada pukul 08.00 pagi atau tiga jam 45 menit setelah serangan pertama Belanda dilancarkan ke Maguwo. Adapun berita ini tersebar ke dunia internasional lewat All India Radio di New Delhi, Minggu malam, 19 Desember 1949.
EDITOR : HERMAN M.