JAKARTA – KawanuaPost.com – Hari ini, 19 Desember 67 tahun silam (1949), Republik Indonesia terpaksa mendirikan pemerintahan darurat di Sumatera Barat. Gara-garanya, Belanda dengan menggelar Agresi Militernya yang kedua, merebut ibu kota republik yang saat itu bertempat di Yogyakarta.
Aksi polisionil, begitu sebutan “Negeri van Oranje” saat menggelar operasi besar merebut Yogya. Tapi pihak Indonesia mengenalnya dengan sebutan Agresi Militer Belanda II. Saat ini, momen Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) didirikan pada tanggal yang sama, diperingati sebagai Hari Bela Negara.
Sejak Belanda tahu bahwa bekas koloninya yang lepas pada Perang Dunia II itu memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945, dengan segala cara Belanda berusaha mengikis wilayah dan kekuatan militer republik.
Dari berbagai perjanjian dari Linggarjati hingga Renville, wilayah republik pun kian mengecil, hingga Belanda merasa tinggal merebut jantung republik di ibu kota, Yogya, maka republik pun bakal runtuh. Dilihat dari sudut pandang militer, agresi yang diberi kode “Operatie Kraai” atau Operasi Gagak ini sangat sukses.
Gempuran serangan udara ke Landasan Udara (Lanud) Maguwo (kini Bandara Adisoetjipto) yang disusul pendaratan pasukan elite Korps Speciale Troepen (KST), mengejutkan TNI yang berangsur mundur meninggalkan Yogya.
Hanya dalam waktu singkat tak sampai sehari, Yogya berhasil dikuasai. Pada tengah hari, dua pemimpin RI, Soekarno dan Mohammad Hatta ditahan dan kemudian “dibuang” ke Sumatera (Bangka dan Brastagi). Hanya pimpinan TNI, Jenderal Soedirman yang gagal ditangkap Belanda.
Akan tetapi, pasukan Belanda diingatkan agar tidak menjadikan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, sebagai bidikan gempuran. Alasannya, salah satu keluarga Kerajaan Belanda, Putri (kelak Ratu) Juliana, masih ingin menghargai Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai bekas kawan satu sekolahnya.
“Keraton diperingatkan tidak boleh dirusak. Tidak boleh dikuasai karena untuk menghargai Sultan (HB IX) Yogya,” cetus penggiat sejarah, Wahyu Bowo Laksono kepada wartawan.
Operatie Kraai terbilang sukses besar. Pimpinan operasi, Letjen Simon Hendrik Spoor yang juga Panglima KNIL (Koninklijke Nederlands Indisch Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia-Belanda, tersenyum lebar saat meletakkan bendera-bendera kecil merah putih biru di petanya, sebagai penanda daerah-daerah yang ditaklukkan.
“Operatie Kraai berhasil secara militer. Yogya berhasil kita kuasai dalam waktu sehari. Benar-benar Burung Gagak yang gagah karena berhasil menyambar dalam sekali pukul. Soekarno, Hatta sudah kita tangkap,” seru Spoor, sebagiamana dikutip buku ‘693 KM: Jejak Gerilya Sudirman”.
Tapi sayangnya, Operatie Kraai secara politis malah seolah jadi bumerang buat Belanda sendiri. Maksud Spoor melancarkan serangan jelang Hari Natal demi tak mendapat perhatian dunia ternyata tak kesampaian. Kabar tentang serangan ke ibu kota republik bahkan sudah terdengar di Paris, sebelum operasi mereka rampung.
“Pada Agresi Militer II itu, harapannya Belanda adalah ketika Yogya dikuasai, pimpinan republik ditawan, maka republik akan tamat ceritanya. Ternyata dugaan Spoor salah. Pak Dirman tidak tertangkap. Republik juga mendirikan PDRI di Sumbar. Kemudian posisi Belanda jadi terpojok di dunia internasional,” sambung Wahyu.
Posisi Indonesia justru kian menguat dan Belanda, terus kian terpojok ketika para kombatan republik menggelar ofensif balasan, Serangan Oemoem 1 Maret pada 1949 yang menunjukkan pada dunia, bahwa TNI sebagai perangkat militer republik belum habis.
Meski hanya merebut Yogya lagi selama enam jam, tapi itu sudah cukup untuk dunia memaksa Belanda kembali duduk ke meja perundingan. Perjanjian Roem-Roijen kemudian tercapai dan 29 Juni 1949, Yogya kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
EDITOR : HERMAN M.