JAKARTA a�� KawanuaPost.com – Mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Moeldoko enggan menanggapi peristiwa Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Ia justru menyebut, sebagai seorang pemimpin, harus menjalankan perintah dengan segala bentuk risiko.
“Seorang pemimpin itu kalau mendapatkan tugas dengan segala resiko harus tercapai,” ujar Moeldoko.
Dalam menjalankan tugas, lanjut Moeldoko, seorang pemimpin dibekali dengan metode serta instuisi yang didapat dari sejumlah pengalaman. Terkait peristiwa Supersemar, Moeldoko meminta agar publik memahami konteks saat itu.
“Dalam menjalankan tugas, pemimpin itu punya cara atau metode, dia juga memiliki intuisi. Kadang-kadan intuisi itu muncul tiba-tiba. (Supersemar) ini sangat kontekstual,” terangnya.
Saat Supersemar terjadi, Moeldoko mengaku masih kelas II SD. Alhasil, ia tidak mengetahui dan tak ingin terjebak pada persepsi seperti yang selama ini berkembang.
“Umur saya 58, saat 1966, saya kelas 2 SD, cuma liat orang mondar-mandir. Saya belum bisa memaknai. Maka yang terjadi adalah kita membaca sejarah yang bisa berubah dan penuh persepsi. Kita harus kontekstual pada zamannya seperti apa. Mungkin pada saat itu sangat kontekstual perintah pengamanan. Saya juga tidak tau apa cuma pengamanan saja atau ada yang lain,” paparnya.
Moeldoko menambahkan, seorang Pangkostrad saat peristiwa Supersemar terjadi memiliki otoritas untuk menerjemahkan situasi.
“Misal: Saya Pangdam perintahkan Danbatalyon, sudah ada rencana, tidak jalan. Ada perkiraan cepat. Itulah cara menerjemahkan perintah, atau diskresi dalam hukum. Seorang panglima pada waktu itu, atau Pangkostrad punya otoritas tinggi untuk menerjemahkan situasi,” urainya.
Oleh karena itu, muncul intuisi seorang pemimpin untuk melakukan pengamanan. Moeldoko meminta, agar publik tidak berasumsi dan bijak melihat konteks peristiwa yang terjadi pada 1966.
“Akhirnya yang muncul intuisi seorang pemimpin. Jangan buat persepsi yang penuh ketidakpastian. Kita semua berasumsi, kita mesti bijak,” jelasnya.
Pada 1966, lanjut Moeldoko, juga tidak terdapat UU TNI maupun UU Pertahanan. Sehingga, ia tak membantah jika terjadi tindakan diskresi yang berlebihan. Namun, ia meminta agar periode lampau tidak dilihat dengan kacamata saat ini lantaran konteks zaman sudah jauh berbeda.
“Saat itu belum ada UU TNI dan Pertahanan sehingga tidak punya koridor. Diskresinya bisa berlebihan, keluar dari tugas pokok, jadi sulit ya. Tapi kalau sekarang, begitu (TNI) miring dikit dikritik. Saat ini TNI bukan dwifungsi lagi, tapi multifungsi sejauh untuk rakyat,” simpulnya.
EDITOR : HER.MAN MANUA