KAWANUAPOST.COM – BELUMA�lama ini, publik turut berduka atas berpulangnya Sulistina, istri dari mendiang pahlawan nasional Sutomo atau yang biasa dikenal Bung Tomo. Beberapa pihak pun mencetuskan usulan Sulistina untuk turut diberi gelar pahlawan nasional.
Bukan tidak mungkin bahwa Lies a�� panggilan Sulistina, turut digelari pahlawan nasional. Wong seperti halnya Bung Tomo, Lies pun berulang kali a�?menyabunga�? nyawa di masa revolusi (1945-1949). Meski tidak turut bertempur di garis depan, tugas Lies sebagai bantuan medis di garis belakang acap terganggu serangan-serangan mortir dan artileri musuh.
Ya, Lies sendiri turut berperan di masa revolusi fisik melawan sekutu dan Belanda di Kota Surabaya, sebagai salah satu anggota palang merah (PMI). Sejak 11 November 1945, Lies sudah berangkat dari Malang ke Surabaya untuk membantu merawat para kombatan republik.
Semasa bertugas di Surabaya itulah, Lies sering bertemu Bung Tomo yang kelak, menikahinya, tepatnya pada 1947. Tapi terlepas dari berbagai kisah romantis keduanya, Lies juga tak jarang menghadapi marabahaya.
Medio November 1945 ketika Pertempuran Surabaya masih berkecamuk, sempat ada satu momen Lies nyaris menghadapi maut seperti beberapa rekan lainnya sesama anggota PMI. Tapi Tuhan berkata lain. Lies terhindar dari maut a�?gara-garaa�� sakit perut.
Seperti diceritakannya semasa hidup dalam sebuah buku bertajuk, a�?Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmua��, Lies dan teman-temannya yang harus beberapa kali pindah markas dan rumah, mampir ke a�?safe housea�? berikutnya di sebuah kawasan dekat bangunan yang kini jadi SMA Darmo.
Pada suatu malam di rumah itu, Lies sudah merasakan nyeri pada perutnya. Sampai pagi menyapa pun, sakit perut Lies belum pulih juga, hingga akhirnya ketika anggota PMI yang lain hendak menjemput makanan dengan truk untuk dibawa ke garis depan, Lies tak bisa ikut dan ditinggal sendiri di rumah itu.
Tapi tak lama setelah melambaikan tangan pada kawan-kawannya yang berangkat dengan truk, terdengar suara ledakan mortir. Saat dilihat ke luar, Lies melihat bekas ledakan mortir sekitar tiga meter di depan truk. Dua rekannya tewas, tiga lainnya terluka.
a�?Aku berterima kasih kepada Tuhan karena memberiku penyakit perut. Kalau tidak, aku pun akan seperti kawanku yang gugur dan luka. Meski pun aku sudah ikhlas apapun yang terjadi di medan perang terhadap diriku, tetap aku terima,a�? ungkap Lies di buku tersebut.
Setelah kejadian itu, Lies memilih ikut sebuah rombongan truk yang bertolak ke Malang. Lies pulang menemui ibunya yang khawatir karena tahu cerita ledakan tersebut. Lies sempat kembali ke markas BPRI (Barisan Pemberontakan Republik Indonesia), meski sudah bukan lagi di Surabaya.
Markas BPRI mundur ke Sidoarjo dan mundur lagi ke Malang setelah dirasa tidak aman, lantaran Belanda sudah mulai merangsek ke Sidoarjo. Maka kembalilah Lies beserta para gerilyawan ke Malang, hingga akhirnya dua tahun kemudian, dinikahi Bung Tomo di kota apel tersebut.
EDITOR : HERMAN MANUA.