JAKARTA – KawanuaPost.com – Kesalahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut tempat lahir Presiden RI pertama Ir. Soekarno di Blitar ramai jadi pergunjingan publik, terutama di dunia maya.
Ini bukan kali pertama Jokowi melakukan blunder. Sebelumnya, mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu salah menyebut data bahwa Indonesia masih punya utang pada International Monetary Fund (IMF).
Sebelumnya para netizen disebutkan mem-bully Jokowi yang semestinya menyebut Bung Karno lahir di Surabaya, bukan Blitar seperti yang disampaikannya pada peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2015.
Kesalahan itu segera dikoreksi Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Belum lagi blunder Jokowi soal Perpres No.39 Tahun 2015 soal down payment (DP) mobil pejabat. Dan, yang ketiga adalah soal penyebutan tempat lahir Presiden Soekarno itu.
“Kesalahan Presiden dalam menyebut data bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya saat menyebut Indonesia masih memiliki utang di IMF. Begitu juga Presiden mengaku tidak membaca Perpres No 39 Tahun 2015 yang kemudian populer dengan istilah ‘I don’t read what I sign’,” tutur Mei Santoso, Peneliti Hukum Konstitusi Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN) Indonesia.
Mei Santoso menambahkan, tiga kesalahan Jokowi itu tak ayal mendegradasi wibawa Jokowi sebagai Presiden, sebagai simbol negara.
“Apabila terus menerus sering salah, potensial akan menjadi kebiasaan, dan sangat berbahaya bila kebiasaan ini dibiarkan dan diakui lalu menjadi konvensi ketatanegaraan. Tentu tidak lucu,” lanjutnya, Kamis (4/6/2015).
“Jelas konvensi ketatanegaraan lahir dari kebiasaan praktik bernegara yang diakui dan dijalankan untuk mengisi kegiatan ketatanegaraan, yang tidak diatur secara positif. Bagaimana jadinya bila konvensi ketatanegaraan lahir dari kebiasaan negatif dan buruk?,” tambah Mei Santoso.
Agar tak terjadi kesalahan keempat, kelima dan seterusnya yang mungkin bisa menghancurkan wibawa Jokowi, harus dilakukan evaluasi terhadap para pembantu Presiden.
“Evaluasi secara total terhadap supporting system lembaga kepresidenan yang ia pimpin. Lembaga-lembaga di lingkar dalam Presiden seperti Staf Kantor Kepresidenan, Setneg dan Setkab, harus ditegur dan dievaluasi agar memberikan masukan yang tepat kepada Presiden,” imbuhnya lagi.
“Kita beruntung. Dalam negara kita tidak menganut ‘the king can do no wrong’. Kepala negara dianggap tidak pernah salah. Kalau ini dianut dan Presidennya sering salah, bah ngeri kali negeri kita ini,” tandasnya.
EDITOR : SOLSILARE.