Proklamasi Kedua Sultan HB IX Pasca-Yogya Kembali

Sri Sultan Hamengku Buwono IX (kiri) (Foto: Capture Museum House of Sampoerna Surabaya)
Sri Sultan Hamengku Buwono IX (kiri) (Foto: Capture Museum House of Sampoerna Surabaya)

JAKARTA – KawanuaPost.com – Pada peristiwa “Yogya Kembali” 29 Juni 1949, tak serta-merta pemerintahan RI bisa kembali berjalan normal. Proses transisi penarikan tentara Belanda dari Yogyakarta perlu pengawasan, terlebih untuk mencegah hal-hal buruk terjadi.

Semua itu berada di tangan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, di mana sejak Ibu Kota RI pada saat itu diinvasi Belanda lewat Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, Sultan HB IX tetap bertahan di dalam kota.

Seiring dipatuhinya perintah penarikan pasukan lewat Perjanjian Roem-Roijen oleh Belanda hingga rampung dijalani pada tanggal 24 sampai 30 Juni 1949 pada pukul 14.00, Sri Sultan HB IX diangkat menjadi Menteri Koordinator Keamanan, sebagai penanggung jawab keamanan di Yogya.

Di hari itu juga, Sultan HB IX melayangkan proklamasi kedua. Proklamasi itu selain dianggap Sabda Sultan, juga diibaratkan mandat sementara, di mana Sultan HB IX diberi kekuasaan, sebelum para pemimpin negara seperti Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali dari pengasingan.

“Kalau proklamasi kedua Sultan HB IX itu sifatnya seperti Sabda Sultan. Sultan selain sebagai pemimpin Daerah Istimewa Yogyakarta sebelum Presiden dan Wapres serta Perdana Menteri tiba dari pengasingan, dia itu pejabat paling tinggi di Yogya,” papar penggiat sejarah Wahyu Bowo kepada Wartawan.

“Karena Sultan sebagai pejabat RI tertinggi yang ada di Yogya (Menteri Koordinator Keamanan), dia diberikan mandat untuk mewakili (RI), sambil menunggu pemerintahan darurat di Bukittinggi, mengembalikan mandat resmi ke pemerintahan lagi,” tambahnya.

Sebagaimana yang dikutip dari buku ‘Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX’, Presiden Soekarno baru kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949, disusul tiga hari kemudian oleh Syafrudin Prawiranegara yang selama ini memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Sidang kabinet RI pertama berlangsung 13 Juli di tahun yang sama, sekaligus penyerahan kekuasaan PDRI kepada Presiden Soekarno. Berselang beberapa hari, tepatnya 24 Juli 1949, dibentuk susunan delegasi RI untuk Konferensi Meja Bundar (KMB), dengan diketuai Mohammad Hatta dan Mohamad Roem.

Dari KMB itu pula akhirnya pada 27 Desember 1949, Belanda baru mau mengakui kedaulatan RI.

Berikut Isi Teks Proklamasi Sultan HB IX, 30 Juni 1949:

“PROKLAMASI

29 Juni 8. b.

Pada hari KAMIS tanggal 30 Juni 1949 kekuasaan pemerintah di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta kembali di tanga pemerintah Republik Indonesia, yang berkedudukan lagi di Ibu Kota Yogyakarta.

Atas penetapan P.J.M. Presiden, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia, maka buat sementara waktu kekuasaan pemerintahan Republik, baik sipil maupun militer di Daerah Istimewa Yogyakarta dipegang dan dijalankan oleh Menteri Negara Koordinator Keamanan dengan dibantu oleh segala badan pemerintahan dan alat kekuasaan serta pegawai negeri yang ada dan yang akan datang di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Segala Badan dan peraturan Negara Republik Indonesia yang ada sebelum hari dan tanggal pengembalian kekuasaan di tangan pemerintah Republik Indonesia, langsung berlaku selama tidak diadakan ketentuan lain.

Setelah keadaan mengizinkan, maka segera P.J.M. Presiden, P.J.M Wakil Presiden serta anggota-anggota pemerintahan Republik Indonesia lainnya akan kembali ke Yogyakarta.

Yogyakarta, 30 Juni 1949

Atas nama PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI NEGARA KOORDINATOR KEAMANAN

Hamengku Buwono IX”

EDITOR : INYO. R.

Tinggalkan Balasan