Pasal Penghinaan Presiden Dihudupkan, Reinkarnasi Rezim Otoriter

Foto : Ilustrasi Demonstrasi.
Foto : Ilustrasi Demonstrasi.

JAKARTA – KawanuaPost.com – Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago, mengatakan jangan samapai rencana penghidupan kembali pasal penghinaan pada Presiden yang telah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 mematikan kritik pada pemerintahan.

“Pasal penghinaan terhadap presiden jangan sampai bergeser untuk motif mematikan kritik dan masukan dari publik. Tapi, poin menghargai martabat dan kewibawaan presiden kita sepakat, supaya tak terjadi krisis kewibawaan presiden,” ujar Pangi kepada Wartawan, Senin (3/8/2015).

Sekedar diketahui, pada 4 Desember 2006 lalu, MK melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapus pasal penghinaan presiden dan wapres dalam KUHP. Permohonan judicial review itu diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis.

“Kedua, kalau ruang bebas kritik dan evaluasi pemerintah dimatikan maka ujungnya bisa berpotensi pada gelombang balik demokratisasi yaitu rezim otoriter. Kalau ada presiden alergi dan anti-kritik maka sudah kembali ke alam feodalisme,” kata Analisis Politik dari Sidin Constitution itu.

Sebab itu, ia menghimbau agar DPR selaku penerima usulan pemerintah yang mengajukan pasal tersebut, dapat berhati-hati sebelum memutuskan agar rezim otoriter tidak hidup kembali di negeri ini.

“Hati hati dengan aturan pasal penghinaan presiden, bisa-bisa semua orang akan takut berbicara, salah ngomong bisa masuk penjara seperti rezim orde baru. Yang protes dan mengkritik dikatakan menghina presiden. Bisa gawat kedepannya. Saya kira MK sudah cukup bijak dan penuh pertimbangan yg matang sehingga membatalkan pasal penghinaan presiden,” tandasnya.

EDITOR : HERMAN. M.

Tinggalkan Balasan