KAWANUAPOST.COM – TEKANAN dunia internasional akhirnya meluluhkan kengototan Belanda terhadap Agresi Militer I yang dilancarkan sejak 21 Juli 1947. Agresi militer dengan kode “Operatie Product” itu pun akhirnya dihentikan dan pihak republik serta Belanda, ‘kompak’ memberlakukan gencatan senjata pada 4 Agustus 1947.
Dengan kekuatan sekira 200 ribu personel, serdadu Belanda me-launching agresi ke berbagai daerah yang kaya sumber daya alam di Sumatera dan Jawa pada 21 Juli 1947.
Namun beberapa insiden yang turut menyeret korban warga asing, melahirkan tekanan hebat terhadap Belanda untuk menghentikan agresi-agresinya.
Contoh nyata insiden yang sempat terjadi adalah “Tragedi Dakota VT-CLA”, di mana dua pesawat pemburu “Kittihawk” Belanda menembaki pesawat yang mengemban misi kemanusiaan, 29 Juli 1947.
Tidak hanya para perwira AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) yang jadi korban. Empat warga asing, pilot Alex Constantine beserta istrinya Beryl (Australia), kopilot Roy Hazelhurst (Inggris) dan Bhida Ram (India), ikut kehilangan nyawa.
Tekanan dunia internasional melecut Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk memerintahkan penghentian tembak-menembak via Resolusi No.27 tanggal 1 Agustus 1947.
Sebelumnya pada 31 Juli, India, Australia dan Amerika Serikat juga menyerukan hal yang sama. Tapi akhirnya gencatan senjata baru dituruti Belanda pada hari ini, 4 Agustus 68 tahun yang silam.
Sebagaimana dikutip dari ‘Kronik Revolusi Indonesia: 1947’, lewat Gubernur Jenderal H.J. van Mook, pemerintah Belanda melayangkan pengumuman gencatan senjata yang berlaku pada 4 Agustus 1947 mulai pukul 24.00.
Di sisi lain, pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Soekarno, turut menyampaikan hal serupa yang kemudian, juga dituruti Panglima Besar Jenderal Soedirman.
“Saya perintahkan kepada seluruh Angkatan Perang Republik Indonesia dan rakyat yang berjuang di samping Angkatan Perang kita, mulai saat ini tetap tinggal di tempat masing-masing dan menghentikan segala permusuhan,” seru Bung Karno.
Pengawasan gencatan senjata kemudian diwewenangkan pada Komisi Konsuler Amerika Serikat Dr. Walter Foote, serta sejumlah konsulat jenderal negara-negara lainnya macam China, Belgia, Prancis, Inggris dan Australia.
Lima resolusi lain juga dikeluarkan PBB dalam kurun waktu Agustus 1947 sampai Januari 1949, di mana pembahasan tentang konflik republik dan Belanda disebut PBB sebagai “The Indonesian Question”.
Pun begitu, baru pada 15 Agustus 1947, pemerintah Belanda bersedia menerima resolusi DK PBB untuk secara total menghentikan tembak-menembak. Komite Tiga Negara (Amerika Serikat, Belgia dan Australia) kemudian dibentuk untuk jadi penengah, hingga lahirnya Perjanjian Renville.
Aksi Penghabisan Belanda Pasca-Gencatan Mengakhiri Operatie Product
BUKAN Belanda namanya, jika tak membandel dengan beragam perjanjian yang sedianya sudah disepakati dengan Republik Indonesia. Tak hanya Perundingan Linggardjati yang mereka langgar. Seruan gencatan senjata 4 Agustus 1947 pun tak mereka turuti seketika.
Padahal pemerintah Belanda sudah memaksa Gubernur Jenderal H.J. van Mook untuk menyerukan cease fire pada 4 Agustus 1947 mulai pukul 24.00. Gencatan itu lahir dari tekanan dunia internasional yang mengecam Agresi Militer I sejak 21 Juli 1947.
Sejatinya, pihak republik sendiri juga masih melakukan beberapa perlawanan di sejumlah daerah, sebelum pukul 24.00. Seperti perlawanan dari Divisi Siliwangi di Sumedang yang sudah pecah sedari 3 Agustus 1947.
Begitupun dengan para kombatan republik yang membendung manuver Brigade V Belanda yang ingin menguasai Kebumen. Pasukan Belanda pada saat gencatan diserukan, hanya mampu mencapai Gombong.
Tapi setelah seruan gencatan senjata diberlakukan 4 Agustus 68 tahun silam, masih ada saja aksi-aksi ‘koboi’ para serdadu Belanda, sebagaimana yang terjadi di Bangkalan dan Pamekasan, Madura.
Seperti dikutip dari ‘Kronik Revolusi Indonesia 1947’, Belanda baru menghentikan agresi mereka beberapa hari setelah seruan gencatan diberlakukan, lantaran bersikeras ingin menguasai Pulau Madura terlebih dahulu. Aksi penghabisan yang mereka sebut “gerakan pembersihan”
Setali tiga uang dengan yang terjadi di Jawa Barat. Agresi dengan kode “Operatie Product” itu masih dilancarkan Belanda beberapa pekan setelah gencatan, demi mengasai Banten hingga batas “Garis Van Mook” sepanjang Tegal-Purwokerto-Banyumas-Cilacap.
Tak lama setelah menyampaikan pengumuman gencatan senjata sesuai perintah pemerintah pusat Belanda, Van Mook sempat ingin meyakinkan para pejabat Belanda, agar meneruskan agresi hingga Yogyakarta yang kala itu jadi Ibu Kota republik.
Panglima Letjen Simon H. Spoor bahkan tetap memerintahkan pasukannya stand by. Kendati begitu, Den Haag tak kunjung mengirim jawaban soal usulan Van Mook tersebut.
Baru setelah itu, Spoor memerintahkan segenap pasukannya di Jawa Barat, Semarang, Madura, Medan, Palembang dan Padang, untuk menghentikan tembak-menembak. (BERBAGAI SUMBER)
EDITOR : HERMAN MANUA.