JAKARTA – KawanuaPost.com – Ada kegelisahan mendalam yang dirasakan Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo, tatkala tak mendapati Ir. Soekarno maupun Mohammad Hatta di rumahnya masing-masing. Usut punya usut, nyatanya Soekarno-Hatta sudah “diculik” sejak 16 Agustus 1945 subuh ke Rengasdengklok.
Padahal di hari itu juga, keduanya sudah dijadwalkan menghadiri sidang penting Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Usaha Soebardjo mencari tahu keberadaan Soekarno-Hatta akhirnya berbuah hasil, usai mengontak salah satu pemuda “Menteng 31”, Soekarni.
Dari Soekarni inilah diketahui bahwa Soekarno-Hatta diasingkan, diamankan, diculik atau entah apa lagi istilahnya pada saat itu, ke Rengasdengklok, sebuah daerah pedalaman di Karawang, Jawa Barat.
Diutuskan Joesoef Koento untuk menemani Soebardjo ke Rengasdengklok. Singkat kata dengan memacu mobil Škoda milik Soebardjo, mereka sampai di tempat tujuan sekira pukul 2-3 sore. Tanpa berlama-lama, Soekarno beserta Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra serta Hatta, dibawa pulang ke Jakarta.
Menilik situasi Jakarta saat itu pasca-Jepang menyerah pada sekutu, Soebardjo berinisiatif membawa Soekarno-Hatta ke “tempat kerjanya”. Ke sebuah rumah besar bergaya Art Deco di jantung kota, rumah perwira penghubung Kaigun (AL Jepang) Laksamana Tadashi Maeda. Kini, rumah tersebut sudah beralihfungsi sebagai Museum Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol No.1, Jakarta Pusat.
Soebardjo yang memang bekerja sebagai penasehat di sana, membawa keduanya ke hadapan Maeda, di mana Soekarno-Hatta turut menanyakan kabar soal benar atau tidaknya Jepang sudah menyerah pada sekutu.
“Maeda saat itu mengiyakan, bahwa Jepang sudah kalah perang. Tapi soal janji kemerdekaan, karena Maeda tak berwenang, dia mengatakan sebaiknya ditanyakan pada perwira tertinggi angkatan Perang Jepang di Indonesia, Mayor Jenderal (Moichiro) Yamamoto,” urai kurator Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jaka Perbawa kepada Wartawan.
Tapi Soekarno-Hatta sempat sedikit syok ketika datang ke rumah dinas Yamamoto, sang jenderal yang juga Gunseikan (Kepala Pemerintahan Militer) itu menyatakan situasi sudah berubah dan janji kemerdekaan dari Jepang tak bisa terlaksana.
Sejak saat itu dicetuskan langsung bahwa Indonesia secepatnya mesti menyatakan kemerdekaan di saat situasi vacuum of power, sebelum kedatangan sekutu. Kembali diputuskan Soebardjo, mereka harus merumuskan naskah proklamasi di tempat aman. Di mana lagi kalau bukan kembali ke rumah Maeda?
“Mereka tiba sekira jam 12 malam. Maeda mengizinkan Soekarno, Hatta dan Soebardjo untuk menjadikan rumahnya tempat persiapan kemerdekaan Indonesia. Saat itu juga sudah berkumpul sekira 50 orang. Di ruang makan inilah, naskah proklamasi dirumuskan setelah Maeda yang tak mau ikut campur, naik ke lantai atas,” tambahnya saat memperlihatkan ruang makan besar di bekas rumah Maeda itu.
Tak lama selepas mendapati kertas kecil dan seperangkat alat tulis sederhana, Soekarno menuliskan teks yang saat itu, masih disebut teks pernyataan kemerdekaan di atas meja makan, hasil pemikiran mereka bertiga.
Setelah melewati beberapa kali koreksi dari tulisan tangan Soekarno, lahirlah teks proklamasi itu. Isinya dibacakan terlebih dulu ke hadapan para pemuda. Pemuda kurang setuju soal kata-kata ‘wakil-wakil bangsa Indonesia’, sehingga ada usulan untuk diganti ‘atas nama bangsa Indonesia’.
“Saat itu yang paling lantang mengusulkan Soekarni, baik kata-kata itu, maupun soal siapa yang harus tanda tangan. Hatta sempat ingin seperti Amerika Serikat. Deklarasi kemerdekaan mereka kan ditandatangani semua yang hadir di situ. Tapi pemuda menginginkan hanya Soekarno dan Hatta yang tanda tangan, karena merasa sepak terjang mereka sudah dikenal rakyat,” lanjut Jaka.
Fase pengetikan jadi hal berikutnya untuk diketik Mohamad Ibnoe Sajoeti Melik dengan ditemani Boerhanoeddin Mohammad Diah. Setelah beberapa kata disunting, teks ketikan itu pun ditandatangani di atas piano dekat tangga.
Sekira pukul 4 pagi semua itu baru rampung, disertai ucapan selamat dari Maeda sendiri. Sempat ada usulan pembacaan teks proklamasi dilakukan di Lapangan Ikada (sekarang Monas). Tapi mengingat situasi keamanan, maka rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56, jadi opsi terbaik.
EDITOR : HERMAN. M.