Mirisnya Nasib Maeda usai Bantu Kelahiran Proklamasi

Laksamana Tadashi Maeda (Foto: Wikipedia)
Laksamana Tadashi Maeda (Foto: Wikipedia)

JAKARTA – KawanuaPost.com – Tidak dimungkiri lagi soal peran Laksamana Tadashi Maeda yang menyediakan rumah dinasnya di Jalan Miyako-Doori No.1 (kini Museum Perumusan Naskah Teks Proklamasi, Jalan Imam Bonjol No.1 Jakarta Pusat).

Maeda merelakan rumah dinasnya itu untuk dijadikan tempat Soekarno, Mohammad Hatta, dan Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo membidani lahirnya teks proklamasi. Memang tak lama pasca-proklamasi dibacakan, pihak Rikugun (AD Jepang) bersikap biasa saja.

Ketika Soetardjo Kartohadikoesoemo diutus untuk melaporkan bahwa pernyataan kemerdekaan Indonesia sudah dilantangkan di rumah Soekarno (Jalan Pegangsaan Timur 56), pihak Gunseikan (Kepala Pemerintahan Militer) tak merespons dengan menangkapi para tokoh-tokoh Indonesia.

“Setelah proklamasi, ada proses lapor dengan mengutus Soetardjo ke Gunseikan, kantornya (perwira tertinggi angkatan Perang Jepang di Indonesia, Mayjen Moichiro) Yamamoto,” ungkap Jaka Perbawa, kurator Museum Perumusan Naskah Proklamasi kepada Okezone.

“Soetardjo lapor bahwa Indonesia sudah mengumumkan kemerdekaan setelah ada pertemuan di rumah Maeda. Tapi ternyata Yamamoto enggak marah, biasa saja. Tidak ada sikap untuk menangkapi para tokoh,” tambahnya.

Tapi sayangnya, nasib Maeda di kemudian hari begitu miris. Tidak lama setelah Republik Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, sekutu datang dua bulan berselang.

Tujuan sekutu tentu saja untuk melucuti dan memulangkan bala tentara Dai Nippon (Jepang) setelah negeri matahari terbit itu kalah dalam Perang Pasifik. Ketika sekutu tahu bahwa perwira Kaigun (AL Jepang) itu terlibat proses Indonesia merdeka, hotel prodeo jadi “kediaman” berikutnya untuk beberapa saat.

“Tapi efeknya ya ke Maeda. Ketika sekutu datang pada September 1945, dia sempat ditangkap dan dipenjara. Maeda ditahan di penjara Glodok. Kalau sekarang letaknya di belakang pertokoan Glodok,” lanjut Jaka.

“Dia dipenjara di sana beberapa bulan. Tahun 1946 dia masih ditahan, tapi sudah di rutan (rumah tahanan) Salemba. Baru pada 1947, dipulangkan (ke Jepang) bersamaan dengan perginya Inggris dari Indonesia,” sambungnya lagi.

Bukannya bisa lega setelah kembali ke Tokyo, Maeda justru diseret ke Mahkamah Militer Jepang. Tapi diseretnya Maeda ke meja hijau bukan karena membantu Indonesia ke gerbang kemerdekaan, seperti yang dialaminya ketika ditahan sekutu.

Maeda dihadapkan ke Mahkamah Militer karena sudah lama diincar karena menjadi petinggi militer Dai Nippon yang kerap melanggar protokoler. Beruntung, Maeda diputuskan bebas tanpa syarat usai beberapa kali menjalani pengadilan.

Pasca-Mahkamah Militer, Maeda memilih menjalani sisa hidupnya sebagai rakyat biasa dan melepaskan segala atribut militernya, sekaligus melepaskan diri pula dari dunia politik.

Maeda sendiri disebutkan setidaknya masih sempat bersua lagi dengan Soekarno pada medio 1968. Saat itu, Maeda yang menginjak usia 70 tahun tengah terbaring sakit dan Soekarno, membesuknya ke Tokyo. Maeda sendiri menghembuskan nafas terakhirnya pada 13 Desember 1977 pada usia 79 tahun.

EDITOR : HERMAN MANUA.

Tinggalkan Balasan